Bisnis.com, JAKARTA - World Bank menyebut pertumbuhan jangka panjang berisiko melambat apabila ketimpangan semakin meluas.
Kepala Perwakilan Bank Dunia Di Indonesia Rodrigo Chaves mengatakan berdasarkan survei tahun 2014 mengenai persepsi masyarakay terhadap ketimpangan, sebagian besar responden menilai distribusi pendapatan sangat tidak setara dan mendesak pemerintah untuk bertindak mengatasi ketimpangan.
Dalam 15 tahun terakhir, koefiensi gini yang mengukur ketimpangan sebuah negara semakin membesar di Indonesia, naik dari 30 pada 2000 menjadi 41 pada 2013.
"Ketimpangan itu berdampak negatif menghalangi potensi pertumbuhan negara dengan risiko meningkatnya ketegangan sosial," ujarnya di Jakarta, Selasa (8/12/2015).
Menurutnya, meskipun pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia mengesankan, kesetaraan dalam pertumbuhan lebih sulit tercapai.
Kalangan mampu jauh lebih cepat dari mayoritas masyarakat. Indonesia berisiko mengalami pertumbuhan yang lebih lambat serta konflik sosial apabila terlalu banyak masyarakat Indonesia tertinggal.
"Potensi mereka yang hilang juga merupakan hilangnya potensi Indonesia," kata Rodrigo.
Kekhawatiran mengenai implikasi jangka panjang ketimpanhan turut mempengaruhi 60% responden survei sehingga rela apabila pertumbuhan ekonomi lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang.
Kendati demikian, tidak harus memilih antara pertumbuhan atau ketimpangan yang mengecil karena riset terbaru menunjukkan bahwa gini yang lebih tinggi akan menghasilkan pertumbuhan ekonimi yang lebih rendah dan stabil.
Pemerintah telah menetapkan sasaran untuk menurunkan koefisiensi guni menjadi 36 pada 2019
"Kisah sukses Brazil bisa menjadi contoh dimana kebijakan pemerintah sangat berperan dalam mengurangi ketimpangan khususnya bila kebijakan tersebut berupaya untuk mengatasi penyebab utama ketimpangan di Indonesia yaitu ketimpangan peluang, pasar tenaga kerha, kejayaan, dan ketahanan terhadap guncangan," kata Rodrigo.
Lead Economist Bank Dunia Perwakilan Jakarta Vivi Alatas menuturkan Indonesia dapat melakukan perbaikan infrastruktur di tingkat provinsi agar anak-anak di pelosok provinsi memiliki kesempatan yang sama pada awal hidup mereka sehingga dapat menentukan peluang kehidupan selanjutnga.
"Ketika anak-anak tersebut mulai bekerja, Indonesia dapat menyediakan pelatihan keterampilan bagi pekerja informal agar mereka tidak terperangkap dalam pekerjaan upah rendah tanpa peluang mobilitas," ucapnya.
Menurut Vivi, banyak pilihan kebijakan fiskal yang dapat menambah pendapatan negara dan mengalihkan pembelanjaan ke program yang akan berdampak pada masyarakat miskin.
Secara khusus, program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat dan beasiswa pendidikan serta pelatihan keterampilan bagi pekerja informal yang tidak memperoleh pendidikan bermutu, dapat membantu dan memberi harapan kepada masyarakat miskin dan rentan.