Bisnis.com, JAKARTA- Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta meminta pemerintah setempat serius mengembangkan pariwisata di wilayah itu. Anggota Komisi IV DPRD Kulon Progo Agung Raharjo di Kulon Progo, Senin, mengatakan pemerintah kabupaten (pemkab) harus menegaskan arah kebijakan kepariwisataan karena di Kulon Progo belum ada hotel berbintang dan restoran yang mampu menyediakan makan bagi wisatawan.
"Selama ini, wisatawan hanya berwisata ke Kulon Progo, tetapi menginap dan beli makan di Sleman dan Kota Yogyakarta. Wisatawan hanya lewat di Kulon Progo," kata Agung.
Menurut dia, Pemkab Kulon Progo harus belajar dari Pemkab Badung, Bali yang bekerjasama dengan kabupaten lain yang memiliki wisata ramai. Wisatawan tinggal di Badung paling cepat tiga hari. Hal ini akan menggerakkan roda perekonomian masyarakat seiring berkembangnya pusat oleh-oleh dan rumah makan. "Pemkab Kulon Progo bisa bekerjasama dengan Sleman dan Kota Yogyakarta soal bagi hasil.
Hal ini dikarenakan wisatawan yang berkunjung ke Kulon Progo, tapi tinggalnya di dua kabupaten/kota ini," katanya. Selain itu, ia meminta pemkab membangun pusat oleh-oleh yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Selama ini, banyak tamu yang datang ke Kulon Progo mempertanyakan pusat UMKM. "Kalau ada pusat UMKM, kami dapat mempromosikan kepada tamu-tamu yang datang ke Kulon Progo untuk belanja," kata Agung.
Kasi Objek dan Sarana-Prasarana Disparpora Kulon Progo Kuat Tri Utama mengatakan pariwisata hendaknya berkembang alami, jangan dikembangkan sebagai industri pariwisata. "Kalau dikembangkan sebagai industri dampak sosial dan lingkungan alam berat," kata Kuat. Ia mengatakan industri pariwisata biasanya ada investor besar, kemudian ada target-target pemenuhan dalam industri.
Industri sendiri ada ketergantungan satu sama lainnya. Contoh, Glagah atau objek wisata di investor yang membangunan hotel dengan biaya Rp60 miliar hingga Rp100 miliar, ketika kunjungan anjlok, maka investor akan melakukan berbagai cara supaya mereka tidak rugi.
"Dampaknya akan muncul prostitusi dan pusat-pusat penjualah minuman keras," katanya.
Menurut dia, pariwisata yang dikembangkan secara alami yang dikemas apa adanya, dan dikembangkan dengan kegiatan ekonomi yang efisien tidak akan menimbulkan dampak sosial yang baruk.
Selain itu, ia mengatakan ketika suatu daerah sudah menjadi industri pariwisata, maka sudah tidak lagi memperhatikan daya dukung lingkungan. "Suatu daerah yang dijadikan industri pariwisata akan menyebabkan dampak sosial dan lingkungan berat. Berbeda dengan yang dikelola secara efisien dengan ekonomi tinggi, itu lebih bagus," kata Kuat.