Bisnis.com, JAKARTA - Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta akan mengevaluasi skema dan mekanisme pengenaan tarif progresif penumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Namun, evaluasi itu bukan mengubah besaran tarif progresifnya sebesar 900% yang sudah ditetapkan melalui SK Direksi Pelindo II HK.568/23/2/1/PI.II.
Kepala OP Tanjung Priok Bay M.Hasani mengatakan instansinya sudah memanggil seluruh pemangku kepentingan di pelabuhan Tanjung terkait polemik pemberlakuan tarif progresif penumpukan 900% tersebut, Kamis (17/3/2016).
Pebisnis yang hadir meliputi unsur dari Kadin DKI Jakarta, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, serta perwakilan dari Kadin Indonesia Bidang Percepatan Pengeluaran Barang Ekspor Impor & Antar Pulau Anwar Satta.
Bay mengatakan setelah pertemuan dengan kalangan pengguna jasa pelabuhan Priok, Otoritas Pelabuhan Priok juga mengumpulkan seluruh pengelola terminal peti kemas di Priok seperti Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) dan manajemen Pelindo II.
“Jadi dalam dua pertemuan itu dapat disimpulkan bahwa hanya mekanismenya yang akan di evaluasi tetapi besaran tarif progresifnya tetap 900% sesuai SK Direksi Pelindo II tersebut,”ujarnya kepada Bisnis, seusai menggelar pertemuan tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok.
Dia mengatakan yang dimaksud evaluasi mekanisme dan skema tarif progresif itu yakni Pelindo II mesti mempertegas pengenaan tarif progresif itu dikenakan pada saat barang/peti kemas sudah selesai di tumpuk di container yard setelah dibongkar dari kapal bukan dihitung saat kapal sandar.
Kemudian, kata dia, sesuai amanat Permenhub No. 117/2015 tentang barang longstay di pelabuhan Priok, bahwa yang dimaksud barang dipindahkan setelah hari ke tiga adalah tiga hari kerja.
“Jadi hari Sabtu dan Minggu itu tidak termasuk dihitung hari kerja karena banyak kapal sandar di hari Jumat saat closing time,” ujarnya.
Bay mengatakan saat ini dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok terus membaik bahkan sudah mencapai rata-rata di bawah empat hari atau tepatnya 3,65 hari.
“Salah satu pemicu membaiknya dwelling time itu, menurut laporan yang kami terima dari Pelindo II juga karena adanya pemberlakuan tarif progresif 900% sehingga barang impor lebih cepat diambil pemiliknya keluar pelabuhan,” paparnya.
Otoritas Pelabuhan Priok juga sekaligus meluruskan pandangan dari Kadin Indonesia yang dinilainya kurang tepat memahami Peraturan Menteri Perhubungan dalam mekanisme penyusunan tarif kepelabuhan termasuk di Pelabuhan Tanjung Priok.
Bay mengatakan berdasarkan Permenhub No. 6/2013 tentang Struktor, Jenis dan Golongan Tarif Jasa Kepelabuhanan yang kemudian direvisi menjadi Permenhub No. 15/2014 menyebutkan pembahasan dan penyusunan tarif jasa kepelabuhanan terkait sebelum ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan (BUP) dalam hal ini Pelindo II terlebih dahulu dilakukan kesepakatan dan pembahasan dengan enam asosiasi penyedia jasa.
Sebelumnya disebutkan tujuh asosiasi sebagaimana disampaikan Kadin Indonesia seperti Ginsi, ALFI, Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), Indonesia National Shipowners Association (INSA) dan Pelayaran Rakyat (Pelra).
Namun, kata dia, pembahasan tarif oleh pengguna jasa terkait di pelabuhan itu harus sesuai dengan domain pembahasan tarifnya yang melibatkan pelaku usaha langsung melalui asosiasi.
“Ini kan soal tariff progresif penumpukan peti kemas impor makanya yang dilibatkan hanya dua asosiasi yakni Ginsi dan ALFI selaku pengguna jasa langsung. Bukan domainnya melibatkan Pelra atau APBMI atau GPEI dalam kaitan tarif impor peti kemas," ucapnya.
Menurutnya, jika menyangkut pembahasan soal tarif tambat, labuh dan tunda kapal, akan melibatkan INSA. "Jadi ini soal domain tarif apa yang dibahas dan akan ditetapkan sesuai proporsi pelaku usahanya,” jelas Bay.
Bay mengatakan sesuai beleid itu, pada Pasal 12 ayat (3) disebutkan pengenaan tarif progresif, keringangan/discount, reward dan penalti diberikan oleh BUP secara langsung dan tidak memerlukan persetujuan dari Kemenhub.
“Jadi penetapan SK Direksi Perlindo II soal tarif progresif 900% itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun. kalau Anda tanya dicabut atau tidaknya hal itu domainnya Direksi Pelindo II,” tuturnya.
Sekretaris DPW ALFI DKI Jakarta Adil Karim justru menyoroti tarif pelayanan yang saat ini diberlakukan di Cikarang Dry Port (CDP) Jawa Barat yang sampai sekarang ini justru tidak pernah melibatkan asosiasi pengguna jasa terkait, dan penerapannya secara sepihak.
“Padahal fasilitas CDP terus dinyatakan sebagai perpanjangan tangan pelabuhan Priok dalam mengurangi kepadatan peti kemas,” ujarnya.