Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Restoran Cepat Saji, McDonald’s yang Berlari Kencang

Perbaikan pengetahuan kesehatan masyarakat sempat menggoyahkan penjualan.
Total selama 5 tahun ke depan, perusahaan yang bermarkas di Illinois berencana membangun bisnis waralaba di China, Hong Kong dan Korea Selatan. /Bisnis.com
Total selama 5 tahun ke depan, perusahaan yang bermarkas di Illinois berencana membangun bisnis waralaba di China, Hong Kong dan Korea Selatan. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah sempat dipusingkan dengan kinerja penjualan produknya yang terjungkal di beberapa negara, termasuk China dan Amerika Serikat, McDonald's perlahan mulai menemukan kembali bentuk barunya sebagai raksasa legendaris di sektor restoran cepat saji.

Selama beberapa tahun terakhir, para analis cukup mengkhawatirkan kebijakan kenaikan upah tenaga kerja yang diambil oleh perusahaan.  Selain itu, isu tak sedap mengenai buruknya kualitas makanan McDonald's juga bersiap menenggelamkan popularitas perusahaan ini.

Namun, situasi tersebut mampu diatasi Steve Easterbrook yang mengambil alih kursi CEO McDonald's pada akhir 2014. Dia menggantikan Don Thompson. Pasalnya, CEO baru ini terbukti cukup berhasil merevolusi tubuh perusahaan asal Illinois tersebut.

Dalam 12 bulan terakhir, nilai saham perusahaan telah naik lebih dari 30%. Hal ini membuat secara akumulasi, dalam satu dekade terakhir perusahaan telah mengukir kenaikan harga saham hingga 267%.

“McDonald's memiliki sejumlah rintangan dalam memacu perusahaan mereka, tetapi mereka terbukti tangguh menghadapinya,” kata Bob Goldin, Wakil Kepala Peneliti Industri di Technomic Inc., Senin (11/4/2016).

Goldin menyoroti kebijakan perusahaan yang melakukan subtitusi pada menu andalan mereka yakni Big Mac. Tingkat kesadaran masyarakat AS yang makin meninggi, terbukti membuat Big Mac tak lagi diminati, karena mengandung 28 gram lemak.

Menurut Goldin, McDonald's dan Easterbrook berhasil memperkenalkan produk andalan barunya yakni Egg McMuffins sebagai salah satu pembaruan identitas perusahaan pada Oktober 2015. Kebijakan ini menuai hasil menggembirakan, setelah data penjualan di sejumlah negara pada kuartal IV/2015 melesat, terutama di AS, sehingga semakin membantu perusahaan keluar dari tekanan.

Dalam paparan data penjualan terakhirnya, perusahaan yang didirikan oleh Dick dan Mac McDonald mencatatkan kenaikan pendapatan hingga 5,7% pada kuartal IV/2015. Laju pertumbuhan pendapatan pada kuartal tersebut menjadi yang terbaik sepanjang 2015 dan paling signifikan sejak 2012.

Laba perusahaan secara global pun naik 10%. Di China, McDonald's berhasil membukukan kenaikan penjualan hingga 4% pada kuartal IV/2015 setelah empat periode sebelumnya jatuh. Pengaruh skandal makanan cepat saji di China yang melanda McDonald, disebut menjadi salah satu penyebab utama turunnya penjualan pada periode sebelumnya.

Data penjualan yang negatif sebelum 2015, diduga menjadi tanggung jawab dari Don Thompson. Pasalnya, sejumlah analis menuduh Thompson terlalu sering mengambil keputusan yang salah dan cenderung merugikan perusahaan.

"Di bawah kepemimpinan Don Thompson, sepertinya McDonald's menjadi perusahaan yang kurang gesit dalam merebut pasar. Thompson juga butuh waktu yang sangat lama untuk menggelar produk baru dan inovasi," kata analis Morningstar RJ Hottovy.

Kekurangan selama kepemimpinan Thompson tersebut langsung ditutupi oleh Easterbrook. Di bawah kepemimpinannya, sektor-sektor yang kelebihan kapasitas tenaga kerja mulai dirampingkan, dia pun menuntut para pegawai pelayan restorannya untuk lebih ramah dalam melayani pelanggan.

Kepercayaan Investor

Para analis menduga kenaikan nilai saham yang signifikan ini juga dipengaruhi oleh kepercayaan investor akan kinerja perusahaan. Kemampuan perusahaan dalam menjaring pelanggan kembali setelah sempat terpukul,membuat kredibilitas McDonald's cukup dipercaya.

“Investor akan cenderung melarikan uangnya ke tempat yang aman, dan berivestasi di McDonald's dinilai cukup aman dan beresiko rendah,” kata  David Palmer, Analis RBC Capital Market.

Dia menambahkan, sekarang adalah waktu yang tepat bagi perusahaan untuk semakin mengembangkan citra perusahaan di tengah momentum yang baik ini. Kampanye penggunaan bahan ramah lingkungan, menu rendah lemak, dan biaya murah, akan menjadi taktik jitu dalam mengembangkan citra perusahaan.

Para analis memperingatkan, tantangan utama perusahaan di masa depan adalah terus mempertahankan konsistensi perusahaan. Pasalnya inovasi yang digagas oleh McDonald's, seperti merombak menu sarapan pagi dan menekan harga jual produk, juga telah diikuti para pesaingnya.

“Perusahaan ingin terus menjaga level konsistensi mereka dalam waktu yang panjang. Namun ini tantangannya, sebab tidak ada yang mudah dalam rangka mempertahankan konsistensinya,” kata Jack Russo, analis Edward Jones.

Menanggapi hal tersebut, Easterbrook mengatakan, program  McDonald's yang disebut all-day breakfast telah berhasil menjadi salah satu andalan perusahaan dalam  menghadapi meningkatnya persaingan dengan pesaing utamanya di AS seperti Wendy Co, Starbucks Corp. dan Burger King.

"Program  tersebut merupakan upaya kami untuk mendapatkan kembali pangsa pasar kami setelah anjlok dalam beberapa tahun terakhir," kata Easterbrook.

Dia juga memrediksi, butuh waktu setidaknya enam bulan ke depan untuk menjaga stabilitas permintaan konsumen akan produknya, demi mendongkrak penjualan yang lebih signifikan pada tahun-tahun berikutnya.

McDonald's pun tercatat terus menambah jumlah restorannya dari 2015 hingga kuartal I/2016. Pada bulan lalu, Easterbrook bahkan telah mengumumkan rencananya untuk menambahkan lebih dari 1.000 restoran di China.

Total selama 5 tahun ke depan, perusahaan yang bermarkas di Illinois berencana membangun bisnis waralaba di China, Hong Kong dan Korea Selatan, lebih dari 1.500 restoran dari 2.800 restoran yang ada saat ini.

Easterbrook menargetkan untuk miliki 3.500 gerai pada 2020, naik dari yang ada saat ini yang mencapai 2.200 gerai. Rencana ekspansi ini otomatis langsung menjadi jawaban atas isu rencana  McDonald's pada 2015 yang ingin menutup 350 restoran di China, Jepang dan AS. (Bloomberg/Reuters)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (13/4/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper