Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan merencanakan mengalihkan keberadaan kapal roll on-roll off (roro) yang melayani di rute Merak-Bakauheni ke wilayah Natuna dan Indonesia bagian timur secara bertahap.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan pengalihan kapal roro tersebut dilakukan sebagai solusi persoalan dari rendahnya load factor puluhan kapal yang melayani di Pelabuhan Merak dan Bakauheni yang hanya 40%.
"Oleh karena itu saya tegas minta kualifikasi besaran kapal, kecepatan kapal, dan usia kapalnya dan secara bertahap, akan kita alihkan ke Natuna dan Indonesia bagian timur,” ujarnya pada Selasa (4/7/2017).
Sementara itu, pihaknya juga berkomitmen akan terus mendorong penggunaan kapal roro sebagai sarana distribusi logistik guna mengurangi beban di jalan raya, termasuk mengembangkan konsep penyeberangan roro jarak jauh (long distance ferry) lintas Jakarta-Surabaya.
Menhub mengatakan perjalanan darat Jakarta-Surabaya dengan jarak 765 km untuk kendaraan (truk), rata-rata ditempuh selama 1,5 hari sampai 2 hari, sedangkan apabila melalui laut (kapal) dapat ditempuh selama 1,2 hari (29 jam) dengan kecepatan 15 knot.
“Hingga saat ini, terdapat 12.000 truk yang melintasi Jakarta-Surabaya sehingga menyebabkan kondisi jalan yang cepat rusak dan kemacetan. Oleh karena itu, kapal RoRo menjadi solusi atas permasalahan tersebut,” jelas Menhub.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo menilai untuk mengatasi iklim usaha yang tidak kondusif di industri penyeberangan saat ini, bisa dilakukan dengan moratorium izin operasi kapal dibandingkan dengan mengalihkan kapal di Merak dan Bakauheni ke Natuna dan Indonesia timur.
"Yang mau dimuat di sana (Natuna dan Indonesia bagian timur) apa ya Mas? Apakah ada subsidi dari pemerintah seperti yang didapat Pelni atau ASDP? Kalau ada muatan, tanpa diminta pun, anggota kami pasti dengan senang hati melayari Natuna," ungkapnya.
Pihaknya mengakui bahwa saat ini kondisi normal, rata-rata load factor kapal penyeberangan di Pelabuhan Merak memang di bawah 40%.
"Saat ada 58 kapal saja, kalau kami tidak menyisip jadwal kapal lain, dalam sebulan hanya beroperasi 12 hari. Apalagi sekarang bertambah menjadi 61 kapal. Sehingga kapal-kapal anggota kami beroperasi dalam kondisi yang tidak efisien karena banyak menganggurnya," ujarnya.
Pihaknya menilai dengan beroperasinya kapal dalam tingkat okupansi yang rendah lantaran terlalu banyaknya izin operasional kapal yang dikeluarkan pemerintah itulah menjadikan iklim usaha yang tidak kondusif.
"Saat ini tidak terjaga keseimbangan antara supply dan demand, dan juga antara jumlah armada dan dermaganya," terangnya.
Oleh sebab itu, setiap ada tambahan izin operasional baru, dengan sendirinya anggota Gapasdap akan berkurang waktu operasinya. "Jadi moratorium izin operasi kapal sudah sangat-sangat mendesak."
Gapasdap, lanjutnya, pada prinsipnya selalu mendukung program pemerintah sepanjang bertujuan untuk membangkitkan industri transportasi penyeberangan yang sehat, dengan pelayanan yang memenuhi keinginan pelanggan dengan standar keselamatan internasional.
"Itu bisa diperoleh jika iklim usaha yang kondusif terjaga dan tercapai keseimbangan antara supply and demand muatannya, juga memadai infrastruktur pelabuhan atau dermaganya, yang pada akhirnya bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional," kata Khoiri.