Bisnis.com, BANDUNG--Keteguhan pemerintah untuk menuntaskan pembangunan program 35.000 MW pada 2019 kembali diuji setelah bocornya surat yang ditujukan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.
Dalam surat tersebut, Menteri Keuangan secara jelas mengungkapkan agar kedua menteri tersebut mempertimbangkan kembali penugasan program listrik 35.000 MW dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PT PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profile, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN). Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PT PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah.
Terkait hal ini, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan program 35.000 MW dapat direlaksasi menjadi 20.000-22.000 MW pada 2019. Sementara itu, sisanya sekitar 13.000 MW dapat dituangkan dalam melakukan Power Purchase Agreement (PPA) alias kontrak jual beli listrik.
Pasalnya, program 35.000 MW tidak lagi sesuai dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai level 5%-6% pada 2019.
"35.000 MW diputuskan dengan asumsi waktu itu pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai 6%-7%," ujar Luhut, Rabu (27/9/2017).
Dia menambahkan jika pemerintah memaksakan 35.000 MW dengan mengunakan asumsi pertumbuhan ekonomi pada kisaran 7% maka proyek ini akan menjadi sangat mahal. "Jadi kita perlambat beberapa proyek," tegasnya.
Saat ini, dia mengungkapkan pasokan listrik di Jawa sudah bagus dan masalah pasokan listrik di Medan sudah selesai sehingga masalah yang harus difokuskan adalah pasokan listrik di wilayah terpencil yang mungkin kebutuhannya 1-5 MW. Proyek tersebut, lanjutnya, tidak memerlukan subsidi. Pembangkit listrik berkapasitas kecil tersebut dapat memanfaatkan solar panel atau arus laut di Flores yang mampu menghasilkan 300 MW dengan biaya 8 sen per Kwh.
"Ke depan nanti bisa kita kurangi lagi sejalan kemajuan teknologi dan pengalaman kita di sektor listrik," ungkapnya.
Menurut Luhut, relaksasi ini memerlukan waktu sekitar satu hingga dua tahun tergantung seberapa cepat pertumbuhan ekonomi. "Ekonomi tidak bisa diramalkan jauh, paling enam bulan, kami lihat enam bulan seperti apa," tegasnya.