Bisnis.com, JAKARTA - Pembukaan kran ekspor kayu bulat kembali dipertimbangkan setelah dilarang selama 16 tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beralasan harga kayu bulat yang jatuh di dalam negeri harus diangkat melalui ekspor.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengatakan gagasan mencabut larangan ekspor kayu bulat sudah dikomunikasikan ke beberapa kementerian/lembaga. Menurut dia, pengapalan log tidak bisa ditunda lagi jika melihat perkembangan saat ini.
"Bu Menteri [Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya] juga sudah sampaikan ke Menko Ekonomi [Menko Perekonomian]. Prinsipnya setuju, tapi yang pasti dijamin tidak mengganggu. Kuotanya ada," katanya, Selasa (21/11/2017).
Dia mengusulkan agar kuota cukup 10% dari produksi kayu bulat Indonesia yang potensinya sekitar 9 juta meter kubik.
Bambang menuturkan pendapatan Perum Perhutani turun selama 6 bulan terakhir karena kayu A3 tak laku dijual. Untuk memantik permintaan, BUMN kehutanan itu memasang diskon hingga harga turun menjadi Rp4 juta-Rp6 juta per meter kubik dari semula Rp14 juta-Rp25 juta.
Dia berharap perdagangan kayu bulat nantinya dapat masuk ke dalam sistem Bursa Kayu Indonesia On Line (Indonesian Timber Exchange/ ITE-E Commerce System). Bambang mengaku gagasan itu sudah disampaikan kepada Kementerian Perdagangan.
Ekspor kayu bulat dilarang mulai 2001 melalui kesepakatan antara Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno, dengan pertimbangan kerap dilakukan oleh pelaku penebangan liar dan perdagangan gelap sehingga mengganggu kelestarian hutan.
Beberapa kali LKHK mengusulkan agar kran ekspor dibuka, tetapi mendapat perlawanan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dengan alasan mengganggu kebutuhan bahan baku dalam negeri dan pada gilirannya mengusik penghiliran.