Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pebisnis yang berkicimpung dalam kegiatan importasi di pelabuhan untuk menekan angka dwelling time guna mengefisiensikan biaya logistik nasional.
Sekjen Indonesia Maritime, Transportation, & Logistic Watch (Imlow) Achmad Ridwan Tento mengharapkan upaya itu dilakukan terus menerus supaya terjalin sinergi program pemerintah terkait dengan penurunan dwelling time dengan kepentingan pelaku usaha.
“Untuk mencapai angka dwelling time ideal di pelabuhan itu mesti dilihat komprehensif dari sisi pemerintah selaku regulator dan pelaku bisnis. Harus disinergikan,” ujarnya.
Ridwan menyampaikan hal tersebut sehubungan dengan naiknya rata-rata angka dwelling time di sejumlah terminal peti kemas ekspor impor yang dikelola PT Pelindo II/IPC dan PT Pelindo III.
Berdasarkan data dashboard dwelling time INSW (Indonesia National Single Window) per 25 Januari 2018, rerata dwelling time di Pelindo III mencapai 5,45 hari dengan perincian di Terminal Peti Kemas Semarang 7,05 hari dengan jumlah kontener menumpuk sebanyak 11.898 boks, TPS Surabaya 4,86 hari (28.230 boks) dan Terminal Teluk Lamong 5,08 hari (6.523 boks).
Sedangkan rerata dwelling time di Pelindo II, mencapai 4,9 hari dengan perincian di Jakarta International Container Terminal (JICT) 5,3 hari dan jumlah kontainer menumpuk sebanyak 42.744 boks, terminal peti kemas Koja 4,8 hari (23.797 boks), New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari (22.488 boks) dan untuk Terminal 3 Priok 5,3 hari (74.814 boks).
Ridwan yang menjabat Ketua Bidang Kemaritiman Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) itu menjelaskan merujuk pada Bank Dunia, dwelling time dihitung berdasarkan indikator pre-clearance, custom clearance, dan post-clearance.
Selama ini, menurut dia, operator pelabuhan (PT Pelindo) sudah berupaya memperbaiki kinerja operasionalnya agar masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di sejumlah terminal peti kemas yang dikelola BUMN itu terus membaik sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo agar dwelling time rata-rata hanya 3 hari.
“Melihat persoalan dwelling time yang saat ini kembali naik, kita harus fair kelambatannya di mana apakah ada di kinerja kementerian dan lembaga (K/L) atau pada perilaku importir yang tidak mau berubah. Ini yang perlu perlu sama-sama diselidiki dan semua pihak duduk bersama,” paparnya.
Menurutnya, pemerintah sudah berupaya memperbaiki kinerja importasi dengan menerbitkan sejumlah regulasi termasuk menyiapkan suprastruktur atau sistem seperti INSW dan akan memberlakukan delivery order atau D/O online.
Namun, kata Ridwan, dari sisi pemberdayaan pelaku usahanya (importir) masih dirasa belum maksimal, padahal kegiatan importasi disejumlah pelabuhan utama seperti di Tanjung Priok Jakarta didominasi perusahaan besar manufaktur yang mengantongi jalur prioritas/MITA (mitra utama).
“Kalau jalur prioritas, itu memperoleh pelayanan berbeda, lantaran bisa pre-notification karena barang masih di kapal sudah bisa clearance dokumen kepabeanan, sehingga bisa langsung dikeluarkan dari pelabuhan,” tuturnya.
Ridwan mendesak untuk memberikan kepastian bisnis dalam rangka efisiensi kegiatan logistik, diperlukan pengaturan pengadaan barang dan jasa aktivitas logistik yang diselenggarakan perusahaan swasta.
“Selama ini tidak ada aturan tender terbuka aktivitas logistik swasta, sehingga tidak tercipta kompetisi dan keterbukaan bisnis yang sehat,” ujarnya.