Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai langkah Bond Stabilization Framework (BSF) akan sangat bermanfaat dalam menahan aksi jual investor Surat Berharga Negara (SBN) eksisting dan menahan capital outflow.
Adapun secara teori, Ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menjelaskan BSF diaktifkan ketika harga SBN turun dan imbal hasil naik, yang mana membuat investor eksisting menjadi tidak terlalu berminat untuk mempertahankan SBN yang dimilikinya. Dengan diaktifkannya mekanisme BSF, pemerintah bersama BUMN akan melakukan pembelian SBN kembali sehingga dapat membuat harga SBN tetap tinggi dan yield tetap terjaga rendah.
"Dengan begitu, investor yang eksisting akan tetap percaya dan tetap mempertahankan SBN miliknya," katanya kepada Bisnis, Selasa (15/5/2108).
Dengan demikian, capital outflow yang disebabkan aksi jual investor SBN dan memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar dapat diredam.
Di sisi lain, Eric mengakui diaktifkannya BSF akan mengurangi minat investor baru untuk berinvestasi ke SBN.
"Investor baru akan kurang tertarik kalau harganya tinggi, yield-nya rendah," tuturnya.
Namun, hal tersebut tetap bisa terkompensasi jika Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya nanti.
Eric juga menerangkan bahwa diaktifkannya BSF akan sangat memberatkan APBN karena akan menahan penerbitan SBN baru, bahkan membeli kembali SBN yang sudah ada di pasar.
Namun, diaktifkannya BSF bisa berdampak positif terhadap penyaluran kredit. Meski, hal tersebut masih akan sangat tergantung pada keputusan setiap bank.
"Tetapi, dengan harga yang tinggi dan yield yang rendah, bank secara teori akan mencari alternatif investasi lain dan diharapkan itu ditransmisikan ke kredit," lanjutnya.
Adapun BSF selalu memantau empat indikator yakni yield SBN, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar, dan kepemilikan asing di SBN.
Eric menambahkan meski imbal hasil SBN mengalami penurunan dalam tiga hari terakhir seiring meredanya tekanan eksternal, tapi hal tersebut masih belum bisa dijadikan dasar karena sifatnya yang sementara.
Di sisi rupiah, dirinya memprediksi mata uang Garuda masih rentan terhadap tekanan dikarenakan gejolak secara musiman, yang mana pada kuartal kedua setiap tahunnya selalu ada repatriasi dividen dan yield.
"Meski sempat mereda, tapi kita juga tidak tahu apakah penguatan ini sementara atau bisa lebih lama," terangnya.
Selain itu, Eric menuturkan hingga Senin (14/5), IHSG masih terkoreksi dan ditutup di bawah level 6.000. Selain itu, kepemilikan asing mencapai 40% dari tradable SBN, sehingga membuat ekonomi menjadi rentan terhadap capital outflow.