Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menyebut akan berupaya menekan jumlah penduduk yang terjebak dalam kemiskinan esktrem lebih rendah lagi. Pernyataan ini menyusul rilis data Badan Pusat Statistik yang menyebut 23,85 juta orang di Indonesia masih berada dalam kemiskinan ekstrem.
Meski jumlah ini hampir setara dengan penduduk satu benua Australia, jumlah kemiskinan esktrem ini adalah yang terendah sejak BPS melakukan penghitungan pada 1960 pada level 8,47%.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut pemerintah tidak berpuas diri dan akan terus bekerja keras untuk mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem selama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Berkenaan dengan turunnya angka kemiskinan yang sudah disampaikan oleh BPS, tentunya ini sesuatu yang menggembirakan jika dilihat dari sisi penurunan tersebut. Tapi sesungguhnya kami di pemerintah masih terus ingin bekerja keras agar semakin sedikit saudara-saudara kita yang masih tertinggal dalam garis kemiskinan ekstrem,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (25/7/2025).
Lebih lanjut, dia menekankan bahwa upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah semata. Partisipasi aktif masyarakat, dunia usaha, dan sektor pendidikan juga sangat penting dalam menciptakan ekosistem yang mendukung lahirnya lapangan kerja baru.
“Mengentaskan kemiskinan tidak bisa menjadi domain pemerintah saja. Pemerintah menyiapkan strategi dan regulasi, tapi masyarakat dan dunia usaha punya peran besar. Kita harus mendorong sebanyak-banyaknya warga negara kita untuk menciptakan lapangan pekerjaan, bukan hanya mencari,” tegasnya.
Baca Juga
Prasetyo juga menyoroti pentingnya perubahan pola pikir, khususnya di kalangan generasi muda, agar tidak hanya terpaku menjadi pencari kerja, melainkan turut menciptakan peluang usaha sendiri.
“Kita ini masih rendah dari sisi jumlah warga yang menjadi pengusaha. Ini pekerjaan rumah besar: bagaimana mengubah mindset generasi muda untuk lebih banyak jadi pencipta lapangan kerja,” katanya.
Meskipun optimis terhadap tren penurunan, tetapi Prasetyo menekankan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen tetap menjadi target ambisius pemerintah dalam lima tahun ke depan. Dia juga mengakui bahwa masih ada kelompok masyarakat yang secara realistis tetap perlu dukungan langsung dari negara.
“Ada sebagian warga negara kita yang memang harus ditopang oleh negara. Misalnya saudara-saudara kita yang lanjut usia, hidup sendiri, atau secara fisik sudah tidak mampu bekerja. Dalam kondisi seperti itu, peran negara menjadi penting,” pungkas Prasetyo.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 dengan klaim angka kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47%. Level kemiskinan ini jadi yang terendah sejak publikasi pertama pada 1960 dengan jumlah orang miskin setara 23,85 juta orang.
"Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta, atau turun 0,2 juta orang dibandingkan kondisi September 2024," ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
BPS juga mengungkapkan pihaknya mengadopsi penghitungan baru untuk kemiskinan ekstrem dari Bank Dunia sebagai indikator. Metode tersebut berkaitan dengan penghitungan besaran purchasing power parity (PPP).
“Jadi Bank Dunia mengadopsi metode baru untuk penghitungan PPP 2017, dan kami langsung mengkomunikasikan dan mengadopsinya,” jelasnya.
Dalam indikator ini, BPS mengategorikan penduduk miskin ekstrem bagi mereka yang pengeluarannya per kapita di bawah US$2,15 PPP per hari. Untuk diketahui, BPS menyebut pada Mei 2025 lalu, kurs US$1 PPP berada pada level Rp5.993,03.
Adapun, PPP merupakan pengukuran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang atau jasa di satu negara dengan di Amerika Serikat. Misalnya, US$1 di New York tentu memiliki daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta. PPP memungkinkan perhitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang memiliki tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kurs PPP berbeda untuk setiap negara.