Bisnis.com, JAKARTA—Program Online Single Submission (OSS) yang direncanakan oleh pemerintah akan diterapkan pada 21 Mei 2018 lalu, kembali gagal diluncurkan karena masih adanya kendala dalam persiapannya, baik dari sisi legal maupun kelembagaan.
Dari sisi legal rencananya OSS akan dibuatkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) tetapi hingga gaung aplikasi ini akan diterapkan pekan lalu, payung hukum tersebut belum juga terbit. Mengingat operasionalisasi OSS ini juga nantinya akan banyak bertabrakan dengan berbagai peraturan perizinan lainnya maka Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana akan membuat Omnibus Law (Undang-Undang Tentang Pelaksanaan Berusaha).
Konsepnya, dari peraturan-peraturan yang ada dan saling bertentangan tidak akan dihapuskan ataupun direvisi satu persatu melainkan cukup dengan membuat sebuah undang-undang baru, kemudian aturan pelaksananya menggunakan peraturan pemerintah (PP).
Dengan demikian peraturan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala lembaga/badan, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, hingga Peraturan Bupati/Wali kota tidak diberlakukan lagi.
Kendala yang kedua adalah masih adanya kekurangan di sisi teknis, dalam hal ini kelembagaan yang akan mengimplementasikan aplikasi ini yang berhubungan dengan masalah organisasi dan sumber daya manusia (SDM).
OSS sendiri adalah aplikasi berbasis internet yang tujuannya adalah untuk mengakomodasi semua perizinan usaha/investasi lintas kementerian/sektoral dan lintas pusat-daerah dalam dalam satu sistem.
Diharapkan melalui OSS, pelaku usaha yang akan mengurus izin dapat langsung mengakses aplikasi ini dan mengetahui semua persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dalam mengurus perizinan dan tidak ada duplikasi permintaan persyaratan.
Hal yang terjadi selama ini saat mengurus perizinan, hal yang dialami oleh pelaku usaha adalah mereka harus bolak-balik ke kantor-kantor instansi pemerintahan hanya untuk mendapatkan surat keterangan yang dipersyaratkan di tiap tahapan pengurusan perizinan.
Nantinya melalui aplikasi OSS, pelaku usaha/investor yang akan mengajukan permohonan perizinan ketika akan mendaftarkan izin usahanya akan memiliki identitas elektronik yang disebut dengan NIB (Nomor Induk Berusaha) yang akan menggantikan perizinan-perizinan lain yang sifatnya sebagai ‘identitas’ perusahaan seperti SIUP dan TDP.
Dalam rangka meningkatkan daya saing, pemerintah melalui Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha dimana dalam Perpres tersebut telah diamanatkan adanya pengintegrasian perizinan berusaha melalui satu program yaitu OSS.
Bertahap
Program ini secara konseptual sudah dimatangkan dari pihak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Kepala BKPM Thomas Lembong, bahwa OSS merupakan ‘program yang ambisius’ serta persoalan-persoalan dalam pengimplementasiannya juga sangat kompleks, sehingga harus dilaksanakan secara bertahap.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa serangkaian program yang telah diluncurkan oleh BKPM dalam menunjang kemudahan berusaha bagi para penanam modal/investor diantaranya dimulai dari program Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat. Kemudian untuk perizinan di daerah telah dibentuk pula Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di setiap kabupaten/kota dibawah Pemerintah Daerah (Pemda). Kemudahan berusaha juga diberikan oleh pemerintah melalui program KLIK (Kegiatan Investasi Langsung Konstruksi) yang telah diberlakukan di kawasan–kawasan Industri tertentu yang telah memenuhi persyaratan, yang bekerja sama dengan pemerintah daerah (Pemda).
Program ini sangat memudahkan bagi para investor dalam memulai kegiatan industrinya, karena investor dapat langsung memulai kegiatan konstruksi sementara untuk proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lingkungan dapat dilakukan secara paralel. Mengingat fungsi BKPM sendiri sebagai pintu masuk pengurusan perizinan investasi dan progress perbaikan sistem yang telah dilakukan seperti diatas maka sudah tepat apabila BKPM yang menjadi lembaga untuk mengimpelementasikan OSS.
Implementasi OSS ini pun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran pengusaha yang nantinya akan berperan sebagai user dari aplikasi OSS. Dalam hal ini, pemerintah juga diharapkan mengetahui permasalahan-permasalahan klasik dalam proses pengurusan perizinan di beberapa kementerian yang aplikasi perizinannya sudah berbasis internet/online.
Kendala tersebut di antaranya sering terjadi ‘sistem down’ pada saat investor akan mengajukan izin. Selain itu, meskipun pengurusan perizinan sudah dilakukan secara online dan jangka waktu pengurusan juga sudah diinformasikan di awal tetapi pada prakteknya jangka waktu tersebut seringkali melebihi dari yang sudah dijanjikan oleh sistem.
Permasalahan seperti ini diharapkan tidak terjadi lagi ketika OSS sudah beroperasi. Oleh karena itu, pemerintah sudah harus menyiapkan infrastruktur digital berupa jaringan internet yang memadai untuk mendukung program ini. Jangan sampai aplikasi yang sudah digaungkan secara besar-besaran ini dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala dalam infrastruktur jaringannya.
Pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) di lingkungan kementerian/lembaga, hingga pemerintah provinsi dan daerah (kabupaten/kota) yang bertugas untuk mengawal jalannya sistem OSS.
Satgas juga berfungsi sebagai agen perubahan bagi para aparatur sipil lainnya (yang selama ini kita kenal dengan istilah ‘pejabat publik’) menjadi petugas yang lebih mempunyai mental untuk melayani kepentingan umum, khususnya pelaku usaha/investor.
*) Artikel dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Senin 28 Mei 2018