Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan mendorong keaktifan Hak Penggunaan Hutan (HPH) sebab dari HPH yang tidak aktif diperkirakan potensi produksinya sebesar 4,8 juta m3.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), KLHK, Hilman Nugraha mengatakan pemerintah akan melakukan penyempurnaan peraturan, berupa pemberian sanksi ataupun insentif untuk mendorong lahan HPH yang tidak aktif.
Selain itu, Kementerian juga akan mengubah kriteria penilaian PHPL dengan mengacu pada kriteria RIL serta melakukan mediasi antara HPH dengan masyarakat yang berkonflik. Menurutnya Dari HPH yang tidak aktif ini, diperkirakan potensi produksinya sebesar 4,8 juta m3.
Menurutnya, saat ini total jumlah HPH ada sebanyak 255 unit dengan luas sekitar 18 juta hektar. "Berdasarkan monitoring kami, jumlah HPH yang aktif sebanyak 166 unit dengan luasan sekitar 13 juta hektar, sementara yang tidak aktif dalam artian tidak memiliki RKT sebanyak 89 unit dengan luasan sekitar 5 juta hektar,"katanya kepada Bisnis pekan lalu.
Saat ini sedang momentum kenaikan harga kayu, lanjutnya, adalah waktu yang tepat untuk dimanfaatkan agar bisa merevitalisasi industri kayu nasional. Menurutnya, peningkatan harga kayu dapat berpengaruh terhadap industri kayu nasional seperti efek domino dimana apabila sektor hulu sehat maka sektor hilir juga akan sehat.
Manfaat pertama adalah peningkatan produktivitas industri kayu sektor hulu. Kedua, terpenuhinya kebutuhan bahan baku untuk industri kayu olahan. Ketiga, produksi kayu olahan semakin meningkat. Dengan peluang tersebut, pemerintah juga akan mendorong ekspor kayu bulat dengan mempromosikan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai salah satu upaya khusus yang dilakukan pemerintah dalam menggenjot ekspor kayu ke luar negeri.
"Strategi khusus untuk mendorong ekspor produk hasil hutan Indonesia yaitu dengan mempromosikan produk hutan ber-SVLK. Terbukti, dengan SVLK, ekspor produk kayu Indonesia meningkat secara signifikan," katanya.
Berdasarkan statistik ekspor produk industri kehutanan, Ditjen PHPL, ekspor kayu pada 2017 meningkat dibandingkan dengan 2016. Pada 2017, total ekspor kayu Indonesia senilai US$10,9 juta sedangkan pada 2016 senilai US$9,2 juta.
Hilman mengatakan perang dagang antara AS dan Tiongkok membuat peluang produk industri kehutanan dalam negeri semakin besar, karena selama ini tujuan utama produk Tiongkok hanyalah ke Amerika Serikat. Sementara saat ini, Amerika Serikat menetapkan bea masuk yang tinggi terhadap produk asal China.
Menurutnya, karena hal itu terjadi praktik penyelundupan produk kayu dari Cina ke Amerika Serikat melalui Indonesia karena tarif bea masuk ke Amerika Serikat dari Indonesia sangat kecil, dengan demikian Tiongkok mencari jalan dari negara-negara yang tarif bea masuknya kecil. Sementara AS terkenal ketat dalam menerima produk (kebijakan Lacey Act), yaitu hanya produk dengan kejelasan asal-usul yang mudah masuk ke AS.
Hilman menekankan akan mengantisipasi hal tersebut supaya tidak terjadi penyelundupan yang dapat merugikan produk dalam negeri.
"Sekitar 3 bulan yang lalu, Indonesia pernah mendapat kunjungan dari Pemerintah AS yang menyatakan bahwa produk madu dari Indonesia yang diekspor ke AS tidak seluruhnya berasal dari Indonesia, melainkan diduga disusupi dari Tiongkok. Indonesia telah menjadi buah bibir dunia dengan SVLK-nya, sehingga jangan sampai Indonesia menjadi tempat pencucian produk Tiongkok via Indonesia,"katanya.
Hilman optimistis Indonesia memiliki kecukupan bahan baku dan industri yang kompetitif yaitu SVLK. Namun kendalanya, saat ini Indonesia belum bisa ekspor kayu bulat. Oleh sebab itu KLHK dan Kementerian lain yang terkait sedang membahas regulasi yang bisa menguntungkan bagi pemenuhan kebutuhan industri dalam negeri, dan surplus bahan baku kayu bulat dapat dipertimbangkan untuk diekspor, masih dalam kajian.
Di sisi lain, Hilman menambahkan peningkatan ekspor produk kayu akan tetap tetap menjaga kelestarian hutan karena pemerintah akan tegas dalam menerapkan SVLK.