Bisnis.com, KARACHI, Pakistan--Pelaku industri sawit menilai pelaksanaan perjanjian dalam skema preferential trade agreement atau PTA Indonesia-Pakistan efektif, hanya saja negara di Asia Selatan ini memandang hubungan dagang kedua negara masih terlalu timpang bagi mereka.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai semestinya Indonesia tidak perlu berpikir panjang menindaklanjuti permintaan Pakistan untuk membantu menyerap produk mereka dan mengharapkan investasi dari Indonesia.
Pakistan saat ini disebutnya sebagai pasar yang besar dan jelas. Terlebih lagi, kata Joko, Presiden sudah mengarahkan agar Indonesia bisa masuk ke pasar-pasar non tradisional. Adapun untuk masuk ke pasar seperti Afrika, sebutnya, perlu waktu dan tidak bisa langsung besar.
"Kalau PTA kami melihatnya efektif-efektif saja tetapi mereka [Pakistan] melihat hubungan dagang kita [Indonesia-Pakistan] masih njomplang," ujarnya, di sela-sela Conference and Exhibition on Indonesian Palm Oil, Kamis (6/9/2018).
Dalam PTA, skema hanya mengenal komoditas-komoditas yang jelas berapa HS code yang disetujui dan/atau hanya tukar menukar tarif, sedangkan skema free trade agreement (FTA) masih dimungkinkan diperluas ke dalam hal service dan investasi.
Sebagai perbandingan, Joko memberi contoh ketatnya persaingan mengacu pada perkembangan di Malaysia yang pada September ini diperkirakan menerapkan tarif ekspor atau bea keluar nol. Malaysia bisa menerapkan itu karena mekanisme yang cepat dan fleksibel.
Menurut Joko, Indonesia semestinya juga bisa menerapkan mekanisme yang sama agar tidak kehilangan momentum terutama di pasar-pasar potensial. Jika tidak, daya saing kompetitor yang lebih baik itu bisa berpengaruh menggeser pangsa pasar produk Indonesia karena fleksibilitas di negara lain berdampak terhadap penawaran terbaik mereka akibat efisiennya industri di pihak pesaing. Sementara itu dinamika pasar bisa berubah begitu cepat.
"Yang harus kita sadari pasar harus kita jaga. Tadi juga sudah ada warning, dari pihak Pakistan, ini agar jangan sampai bergeser pasar kita. Jangan sampai seperti pada 2008 pangsa kita pernah dari 20% lalu turun hingga menjadi 0," ujarnya.
Menurutnya, kita kerap tertipu dengan angka ekspor yang meningkat tetapi pangsa pasarnya justru mengalami penurunan. Hal ini terjadi seperti di pasar India. "Kita happy ekspor meningkat padahal pangsanya mengalami tren penurunan. Pakistan tidak menuntut apa-apa, cuma ingin agar kita investasi di sana."
Joko mengingatkan bagi Indonesia lebih mudah untuk mengambil langkah menjaga pasar ini bahkan meningkatkan pangsa pasar. Joko juga menyebut ada perkiraan Pakistan bisa mengimpor minyak makanan atau edible oil sampai dengan 3,3 juta ton per tahun yang bisa dipenuhi Indonesia.
Lebih jauh, Joko juga mendorong agar skema bilateral trade agreement itu juga mempertimbangkan apakah di bawah PTA atau free trade agreement (FTA) dampaknya akan bisa ke penurunan tarif untuk minyak sawit.
Yang jelas industri sawit nasional, menurutnya, tetap membutuhkan insentif terutama di pasar-pasar yang penting buat Indonesia. Di sisi lain, industri sawit sendiri juga harus menghadapi isu-isu terkait sustainability di pasar lainnya. Kondisi ini juga menjadi tantangan lantaran stok produk sawit menumpuk.
Sejauh ini setiap ton CPO Indonesia yang diekspor dipungut US$50, kemudian untuk produk olahan sawit dipungut 30% dari harga dan untuk produk olahan dalam volume kecil minyak sawit dipungut 10% dari harga.
Meskipun belum menerima jawaban atas usulan tarif kepada pemerintah, pihak industri sawit nasional tetap mengharapkan adanya penyesuaian agar tetap dapat memenuhi skala ekonomi dalam memasok berbagai kebutuhan pasar.