Bisnis.com, JAKARTA — Pengembangan bioavtur di dalam negeri dinilai memiliki prospek bagus. Namun, masih terdapat sejumlah tantangan.
Adapun, PT Pertamina (Persero) melalui PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah memproduksi bioavtur Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbahan baku jelantah campuran used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah.
Baca Juga
Bioavtur itu baru saja diujicobakan untuk penerbangan Pelita Air Services dengan rute Jakarta - Denpasar, Rabu (20/8/2025). Pelita Air menjadi pesawat pertama yang terbang dengan bahan bakar avtur dicampur 2,5% minyak jelantah.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar berpendapat, penggunaan bioavtur berbahan baku minyak jelantah menjadi angin segar karena bisa menekan emisi karbon. Apalagi, industri penerbangan termasuk penyumbang terbesar emisi karbon.
"Ini inovasi yang baik dari Pertamina sebagai upaya pengembangan energi nonfosil. Prospek SAF sangat bagus karena kebutuhan sangat besar dan jangka panjang akan terus meningkat, sedangkan pasokan masih sangat minim," tutur Bisman kepada Bisnis.
Menurutnya, jika Pertamina bisa menjadi produsen SAF, maka akan sangat diperhitungkan di level global. Selain itu, juga bisa mentransformasi bahwa Pertamina tidak hanya BBM, tetapi juga produsen energi terbarukan yang disegani.
Namun, Bisman mengatakan, pengembangan SAF berbahan baku jelantah itu bukan tanpa tantangan. Menurutnya, biaya produksi SAF masih sangat tinggi.
Selain itu, isu terkait produk sawit Indonesia di pasar Eropa yang dipandang buruk, bisa saja menghambat pengembangan SAF tersebut.
"Tantangannya juga besar, biaya produksi SAF sangat tinggi sehingga harga jualnya jauh lebih tinggi dari avtur. Selain itu juga isu tentang komoditas sawit yang sangat sensitif di Eropa yang bisa potensial menghambat," jelas Bisman.
Lebih lanjut, Bisman mengatakan, pemerintah bisa ikut ambil peran dalam pengembangan SAF. Salah satunya dengan memberikan regulasi dan jaminan kepastian hukum. Bahkan, insentif pun kalau memungkinkan bisa diberikan oleh pemerintah.
"Bagi Pertamina ini peluang dan tantangan, baik dari produknya yang prospek, ramah lingkungan dan akan dibutuhkan dalam volume besar di masa mendatang, oleh karena itu bisa serius investasi dan mengembangkan riset untuk produk yang lebih baik dan lebih ekonomis," kata Bisman.
Sementara itu, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau Indonesian National Air Carriers Association (INACA) mendukung produksi SAF berbahan baku minyak jelantah dari Pertamina tersebut.
Sekretaris Jenderal INACA Bayu Sutanto menuturkan, SAF sudah menjadi mandatori untuk blended avtur (aviation jet A1 fuel) bagi semua negara anggota ICAO dengan CORSIA (carbon offset and reduction scheme for international aviation).
Mengingat SAF itu mahal, makanya setiap negara memiliki kebijakan dan strategi implementasi SAF tersendiri. Bayu mencontohkan, Singapura mulai memberlakukan 1% blended SAF mulai 1 Januari 2026 bagi penerbangan mereka.
"Kami mendukung dengan mulai diproduksinya SAF oleh kilang Pertamina tersebut sehingga bila diberlakukan blended SAF mulai Januari 2027 sebesar 1% untuk international flight, [Indonesia] sudah ada pasokannya," ucap Bayu.
Dia pun menilai tantangan dari pengembangan SAF berbahan baku jelantah adalah harganya yang lebih mahal. Oleh karena itu, biaya operasional dan tiket penerbangan bisa menjadi lebih mahal pula.
Selain itu, belum ada kejelasan perhitungan carbon tax dan carbon credit dari pemerintah. Di samping itu, jaringan distribusi SAF juga masih belum optimal.
"Dengan berbagai kendala dan tingkat kesiapan, INACA menyarankan untuk tahap awal pemberlakuan blended SAF hanya di dua bandara internasional CGK dan DPS dan hanya untuk international flight dulu," kata Bayu.