Bisnis.com, KARACHI, Pakistan — Pelaku industri sawit menilai pelaksanaan perjanjian dalam skema preferential trade agreement (PTA) dengan Pakistan sudah cukup efektif, kendati hubungan dagang kedua negara masih terlalu timpang.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menilai, Pakistan merupakan pasar yang besar dan jelas jika dibandingkan dengan pasar nontradisional lainnya seperti negara-negara Afrika.
“Kalau PTA, kami melihatnya efektif-efektif saja tetapi mereka [Pakistan] melihat hubungan dagang kita [Indonesia-Pakistan] masih jomplang," ujarnya saat ditemui di sela-sela Conference and Exhibition on Indonesian Palm Oil (CEIPO) di Karachi, pekan lalu.
Menurut Joko, skema PTA hanya mengenal komoditas-komoditas yang jelas seperti berapa kode harmonized system (HS) yang disetujui dan/atau hanya tukar menukar tarif, sedangkan skema free trade agreement (FTA) masih dimungkinkan untuk diperluas ke dalam hal lain seperti sektor jasa dan investasi.
"Pakistan tidak menuntut apa-apa, cuma ingin agar kita investasi di sana," ujarnya.
Dalam konferensi CEIPO itu, hadir sedikitnya 150 pelaku bisnis sawit dan makanan dari Pakistan. Dari Indonesia, turut berpartisipasi sebanyak 18 pejabat dan anggota dari KBRI di Islamabad serta segenap pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit.
Pakistan merupakan salah satu pasar ekspor minyak sawit terpenting bagi Indonesia, dan menempati urutan keempat terbesar setelah India, Uni Eropa, dan China. Sebanyak 80% kebutuhan sawit Pakistan dipasok oleh Indonesia. Sisanya, dipasok oleh Malaysia.
Pada tahun ini, ekspor sawit dan produk turunannya telah mencapai sekitar US$22,9 miliar. Adapun dari total itu sebanyak US$2 miliar atau sekitar 10% merupakan kontribusi Pakistan.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Pakistan Iwan Suyudhie Amri berjanji akan memfasilitasi kepentingan pemerintah dan pengusaha Indonesia di Pakistan untuk meningkatkan atau paling kurang dan memelihara pasar produk minyak sawit di sana.
Menurutnya, tantangan hubungan dengan Pakistan, ke depan bukan lagi tantangan tradisional seperti akses pasar dalam konteks tarif karena Indonesia sudah menjalankan kerja sama PTA dengan Pakistan.
Sementara itu, Chairman of Edible Oil Conference, Pakistan Edible Oil Refinery Association Abdul Rasheed Janmohammad menilai, konversi perjanjian dari PTA ke FTA dengan Pakistan saat ini sedang berproses.
Menurutnya, perkembangan itu diharapkan dapat meningkatkan perdagangan bilateral dalam impor minyak sawit, batu bara dan ekspor beras dan komoditas lainnya dari pihak Pakistan.
Pakistan, kata Janmohammad, berharap Indonesia dapat bersinergi dalam investasi di bidang logistik dan industri minyak makan dengan konsisten.
“Ekspor minyak sawit ke Pakistan yang tidak hanya akan memungkinkan Indonesia dapat lebih meningkatkan pangsa pasar tetapi juga memungkinkan pengolahan minyak makan di Pakistan beroperasi.”
Dia menyebutkan Pakistan mengimpor minyak makan sekitar US$1,5 miliar. “Kami berharap Indonesia juga dapat mendukung Pakistan dalam membeli beras dan komoditas pangan sehingga neraca perdagangan dan pembayaran kita sama-sama dapat ditingkatkan,” ujarnya. (Roni Yunianto)
Lebih jauh, Gapki berharap pemerintah dapat mendukung industri untuk menjaga pasar dan bahkan meningkatkan pangsa di negara Asia Selatan itu. Joko menyebut ada perkiraan Pakistan bisa mengimpor edible oil sampai dengan 3,3 juta ton per tahun yang bisa dipenuhi Indonesia.
Joko juga mendorong agar skema bilateral trade agreement baik di bawah PTA atau FTA mempertimbangkan penurunan tarif untuk ekspor minyak sawit.
Industri sawit nasional, menurutnya, tetap membutuhkan insentif terutama di pasar-pasar yang penting buat Indonesia. Di sisi lain, industri sawit sendiri juga harus menghadapi isu-isu terkait keberlanjutan atau sustainability di pasar lainnya. Kondisi ini juga menjadi tantangan lantaran stok produk sawit menumpuk.
Sejauh ini setiap ton CPO Indonesia yang diekspor dipungut US$50, kemudian untuk produk olahan sawit dipungut 30% dari harga dan untuk produk olahan dalam volume kecil minyak sawit dipungut 10%.
Meskipun belum menerima jawaban atas usulan tarif kepada pemerintah, pihak industri sawit nasional tetap mengharapkan adanya penyesuaian agar tetap dapat memenuhi skala ekonomi memenuhi berbagai kebutuhan pasar.