Bisnis.com, JAKARTA—Dua pasangan calon presiden, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memiliki pandangan yang berbeda dalam upaya meningkatkan rasio pajak.
Dalam debat putaran terakhir, calon presiden Prabowo Subianto menyinggung rendahnya rasio pajak Indonesia yakni sekitar 10%-11%. Sementara itu negara tetangga Malaysia dan Thailand sudah mencapai 19%.
Rasio tersebut disebutnya juga merosot ketimbang era orde baru yang sempat mencapai 16%. Oleh karena itu, dirinya menjanjikan paling tidak dapat mengembalikan rasio pajak kembali meningkat mencapai 16% dengan meningkatkan transparansi dan pemanfaatan teknologi.
"Pemerintah harus berani mengejar mereka yang selama ini menghindar dari yang seharusnya dibayar," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, timnya juga akan menginisiasi pembentukan Badan Penerimaan Negara yang terpisah dengan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Inisiatif tersebut juga disertai dengan pengurangan tarif pajak perorangan dengan meningkatkan batas penghasilan tidak kena pajak. Di samping itu, tarif pajak korporasi juga dijanjikan turun dari yang berlaku saat ini untuk menarik lebih banyak investasi.
Sedangkan calon presiden Joko Widodo meyoroti adanya resiko guncangan apabila pemerintah mengejar tax ratio menjadi sebesar 16% dalam setahun.
"Kalau dalam setahun tax ratio naik drastis seperti itu, artinya ada 5% dari GDP kita sekitar Rp750 triliun yang ditarik menjadi pajak. Itu yang akan menimbulkan shock pada ekonomi," ujarnya.
Jokowi menilai upaya memperluas basis pajak selepas program amnesti pajak perlu dilakukan secara bertahap. Di samping itu, dirinya menilai upaya meningkatkan basis pajak perlu difokuskan dengan melakukan reformasi pada pelayanan.
"Itu yang akan memberikan dampak signifikan bagi pembayar pajak, karena merasa dilayani dengan baik," ujarnya.