Bisnis.com, JAKARTA - Produktivitas kopi nasional masih berpotensi untuk terus ditingkatkan dengan memperbaiki metode budidaya petani.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arief Nugraha mengatakan potensi Indonesia pada komoditas kopi terbilang cukup besar. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) 90 persen dari pohon kopi di Indonesia sudah menggunakan tanaman klon yang unggul.
Adapun yang dimaksud dengan tanaman klon yang unggul adalah tanaman yang dibuat dari dua induk untuk menghasilkan tanaman yang unggul. Penggunaan tanaman klon unggul akan meningkatkan potensi produktivitas kopi Indonesia.
“Potensi tanaman klon unggul dari Puslitkoka adalah sekitar 1-2 ton/ha. Kalau potensi produktivitas kopi Indonesia tidak mampu berkembang, maka ada sebuah masalah yang terjadi pada cara budidaya kopi di kalangan petani,” jelas Arief Selasa (23/4/2019).
Dia menjelaskan budidaya kopi yang baik dapat merujuk kepada Good Agricultural Practice (GAP) dari Puslitkoka ataupun lembaga nasional dan lembaga internasional. Contoh budaya GAP yang baik adalah melakukan pemangkasan, pemupukan, penyiangan secara rutin dan juga memberikan pohon pelindung. Metode budidaya yang efektif dan efisien perlu terus digalakkan.
"Meskipun terlihat sederhana, pada kenyataan di lapangannya banyak petani yang tidak dapat menjalankannya. Hal ini dikarenakan adanya ketidaktahuan petani ataupun ketidakmampuan petani untuk menjalankan praktik yang baik. Selain itu, kemampuan finansial ataupun faktor alam juga dapat menjadi penghambat," katanya.
Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi masalah budidaya di level petani ini diperlukan penyuluhan kepada petani Kopi di Indonesia. Sementara itu dari data Kementerian Pertanian tahun 2018, jumlah petani kopi di Indonesia diperkirakan mencapai angka 1,8 juta kartu keluarga.
Dari jumlah itu, sekitar 96 persennya merupakan petani perkebunan rakyat. Banyaknya jumlah petani menghambat adanya penyuluhan secara sekaligus.
Penyuluhan, lanjut Arief, harus dilakukan secara perlahan dan menyeluruh atau pemerintah dapat membentuk komunitas petani di tiap wilayah agar para petani dapat bertukar informasi tentang bagaimana proses budidaya kopi yang baik dapat berjalan.
Dengan adanya sebuah forum untuk bertukar informasi, diharapkan terjadi peningkatan transfer pengetahuan dan pengalaman antar petani, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitasnya.
Menurutnya, kualitas kopi yang dihasilkan diukur melalui karakteristik rasa. Semakin banyak terjadi kecacatan dalam hasil panen, maka karakteristik akan semakin turun.
Selain itu, cara untuk meningkatkan produktivitas juga perlu diperhatikan. Pasalnya panen dengan alat mesin pertanian berkemungkinan menurunkan hasil kualitas panen yang tidak maksimal. Hal itu dikarenakan ketika menggunakan mesin, maka hasil panen akan bercampur antara buah yang bagus dan tidak bagus. Hasil panen yang bercampur ini akan menurunkan kualitas dari kopi yang dipanen.
"Selain meningkatkan produktivitas, hal lain yang jga tidak kalah penting adalah kualitas hasil panen. Peningkatan produktivitas harus dibarengi dengan peningkatan kualitas kopi. Kopi yang berkualitas, selain dihasilkan dengan cara GAP pada saat budidaya, juga memerlukan perlakuan pasca panen yang efisien," katanya.
Pada kesimpulannya, usaha peningkatan produktivitas pada tanaman kopi tetap harus memperhatikan kualitas kopi. Karena kopi yang diolah dengan hanya memperhatikan kuantitas tidak akan menghasilkan kopi dengan kualitas yang tinggi.
Selain memastikan produktivitas yang tinggi, perlu dipastikan juga bahwa kualitas kopi yang dihasilkan petani. Karena kualitas kopi akan berujung pada harga jual kopi tersebut. Semakin berkualitas maka semakin tinggi harga jual kopi yang diperoleh para petani nantinya.
Berdasarkan dari data FAO 2017, Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Pada 2017, Brazil sebagai penghasil kopi terbesar dunia memproduksi kopi sebanyak 2,6 jura ton, yang disusul oleh Vietnam dengan jumlah produksi sebanyak 1,5 juta ton, Kolombia dengan 754.376 ton dan Indonesia berada di peringkat keempat dengan jumlah produksi sebesar 668.677 ton.