Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ingin melakukan deregulasi ekonomi untuk merespons ketidakpastian global yang semakin meningkat. Kesiapan industri dalam negeri pun menjadi sorotan.
Rencana deregulasi itu disampaikan ke publik usai hiruk-pikuk eskalasi perang dagang yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump. Pasalnya, Trump menerapkan tarif resiprokal kepada negara-negara mitra dagang AS termasuk Indonesia sebesar 32%.
Deregulasi sendiri dimaksudkan agar tidak ada hambatan dalam hal perdagangan internasional hingga berusaha. Dalam forum Sarasehan Ekonomi pada awal April lalu misalnya, Presiden Prabowo Subianto menyoroti aturan TKDN hingga Bea Cukai yang dinilai malah hambat perekonomian.
Tanggapi itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Deregulasi yang akan memberi rekomendasi paket kebijakan.
"Deregulasi itu semua yang kemarin diarahkan Bapak Presiden, baik itu terkait dengan ekspor, impor, dan TKDN yang kaitannya dengan ICB [International Competitive Bidding]," jelas Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyatakan siap menurunkan tarif bea masuk dan bea keluar. Misalnya kebijakan perpajakan melalui penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) impor untuk produk tertentu seperti elektronik, seluler, dan laptop, dari yang awalnya dikenai PPh impor sebesar 2,5% menjadi 0,5%.
Baca Juga
"Ini berarti mengurangi lagi 2% beban tarif. Jadi anything [apa pun] yang bisa mengurangi beban tarif karena sudah adanya beban tarif selama belum turun dari Amerika, kita akan coba lakukan," ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4/2025).
Kemudian penyesuaian tarif bea masuk semua produk impor asal AS yang termasuk most favored nation (MFN), dari yang awalnya 5%—10% menjadi 0%—5%.
Tak hanya itu, Kementerian Keuangan siap melakukan penyesuaian bea keluar crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit mentah yang bervariasi dari 0% sampai dengan 25%. Sri Mulyani mengklaim tindakan ini akan mengurangi beban tarif hingga 5%.
Terakhir, trade remedies atau tindakan pengamanan perdagangan. Pemerintah akan mempercepat tindakan bea masuk antidumping, imbalan, safeguarding, dari 30 hari menjadi 15 hari.
"Jadi kami akan terus melakukan reform [reformasi], terutama di bidang pajak, bea dan cukai, dan prosedur, supaya ini betul-betul mengurangi beban," tutup Sri Mulyani.
Masalahnya, selama ini 'hambatan' seperti penerapan tarif tinggi dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri yang belum bisa bersaing dengan industri negara lain yang sudah lebih maju.
Dalam laporan bertajuk UNCTAD Global Trade Update March 2024 misalnya, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menegaskan bahwa tarif merupakan instrumen penting dalam kebijakan perdagangan internasional terutama untuk negara berkembang.
Salah satu alasannya, tarif dapat bertindak sebagai instrumen kebijakan untuk mendukung industri yang baru berdiri. Dengan mengenakan bea masuk pada barang impor, industri dalam negeri bisa terlebih dahulu tumbuh sebelum bersaing secara langsung dengan pemain yang lebih mapan di pasar global.
Perlindungan Industri Dalam Negeri
Pertanyaannya, apakah yang perlu pemerintah lakukan agar industri dalam negeri siap menghadapi paket kebijakan deregulasi ekonomi?
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai deregulasi ekonomi memang penting untuk membuka diri terhadap perdagangan internasional. Menurutnya, kebijakan perdagangan terbuka akan lebih baik untuk ekonomi global.
Hanya saja, Yusuf menegaskan kebijakan perdagangan bebas harus bersifat menguntungkan semua pihak alias mutual benefit.
Oleh sebab itu, sambungnya, jika tidak disusun secara hati-hati maka muara kebijakan perdagangan bebas pada justru bisa merugikan industri dalam negeri.
"Misalnya kalau kita bicara konteks perdagangan, bebas antara Indonesia dengan beberapa negara akhirnya bermuara terhadap peningkatan laju barang impor jadi yang akhirnya mendistorsi pasar industri domestik," jelas Yusuf kepada Bisnis, Minggu (18/5/2025).
Akibatnya, terjadi banjir impor produk jadi—bukan impor bahan baku—sehingga industri tertentu tidak bisa bersaing. Padahal, banyak negara seperti Indonesia masih berada pada tahapan pembangunan.
Menurutnya, negara berkembang seperti Indonesia masih perlu memproteksi industri dalam negerinya terutama manufaktur. Yusuf menegaskan pentingnya kebijakan perdagangan yang memperkuat sektor manufaktur.
Dia mencontohkan kebijakan deregulasi seperti Permendag No. 8/2024. Yusuf memahami bahwa kebijakan tersebut diperuntukkan untuk mempercepat aliran perdagangan impor terutama untuk industri.
"Namun, pada kenyataannya justru kebijakan Permendag ini merupakan salah satu kebijakan yang disinyalir mendistorsi pasar industri dalam negeri," ujarnya.
Oleh sebab itu, dia berharap ke depan pemerintah melakukan kajian lebih komprehensif sebelum mengeluarkan kebijakan. Selain itu, proses pemantauan dan evaluasi juga harus tetap berjalan agar suatu kebijakan yang melakukan industri bisa dikoreksi atau sebaliknya yang memperkuat industri bisa dilanjutkan.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin meyakini hanya negara yang terbuka yang bisa menjadi negara maju. Dalam konteks ini, deregulasi bisa mendorong masuknya investasi, modal, dan talent berkualitas ke dalam negeri.
Hanya saja untuk memastikan industri dalam negeri bisa bersaing dengan industri dari negara lain yang sudah lebih maju, pemerintah perlu memastikan agar deregulasi ekonomi bisa membuat biaya produksi lebih murah.
Menurutnya, selama ini industri di negara berkembang seperti Indonesia bisa tumbuh karena biaya produksi yang lebih murah. Misalnya, upah buruh yang lebih rendah daripada negara maju.
Apalagi, sambungnya, Indonesia mempunyai populasi yang banyak sehingga pasarnya yang besar bisa menarik perhatian investor.
"Intinya, efisiensi dan daya saing. Negara berkembang [seperti Indonesia] harus menciptakan iklim usaha yang menarik sehingga investor datang [agar bisa bersaing dengan industri negara maju]," jelas Wija kepada Bisnis, Minggu (18/5/2025).