Bisnis.com, JAKARTA -- Pada tahun ini, para produsen pupuk dilaporkan tidak mengalami kendala yang berarti dalam proses produksinya. Pasalnya, tidak terdapat lagi gangguan berpa suplai gas untuk industri, walaupun harga gas untuk industri masih tergolong mahal.
Head of Corporate Communication PT Pupuk Indonesia (Persero) Wijaya Laksana mengamini, stok pupuk bersubsidi di dalam negeri saat ini sudah terpenuhi. Dia mengatakan, stok pupuk bersubsidi dari perseroannya telah mencapai 1,1 juta ton dan diperkirakan cukup untuk kebutuhan selama dua hingga tiga bulan ke depan.
Dia melanjutkan, laju ekspor pupuk dari Pupuk Indonesia berpeluang melampaui proyeksi yang ditetapkan pada tahun ini, yakni sebesar 1,4 juta ton. Terlebih, kapasitas produksi pupuk dari pabrik Pupuk Indonesia pada tahun ini mengalami kenaikan menjadi 13,8 juta ton dari realisasi tahun lalu sebesar 13,2 juta ton.
“Stok untuk pupuk nonbersubsidi cukup tinggi karena ada penambahan kapasitas produksi. Ekses dari kondisi tersebut pada akhirnya akan berdampak kepada laju ekspor kami yang juga berpotensi naik hingga akhir tahun ini,” jelasnya, Minggu (1/9/2019).
Kendati demikian, dia belum berani memastikan berapa potensi kenaikan ekspor pupuk dari target yang ditetapkan perseroan pada awal tahun. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh adanya peluang lonjakan permintaan dalam negeri terhadap pupuk nonsubsidi pada periode akhir tahun.
“Biasanya, pada akhir tahun, permintaan pupuk naik dan kecenderungannya sulit ditebak. Untuk itu, kami memilih tetap mempertahankan proyeksi volume ekspor pupuk yang ditetapkan awal tahun ini, meskipun ada potensi realisasinya di atas proyeksi,” lanjutnya.
Di sisi lain, lanjutnya, dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.114/2018 tentang Ketentuan Ekspor Pupuk Urea Non Subsidi, para produsen tidak dapat secara bebas melakukan ekspor pupuk. Sebab, dalam beleid tersebut, pupuk urea nonsubsidi yang masuk dalam pos tarif 3102.10.00 dan ex. 3105.10.90 dibatasi ekspornya oleh pemerintah.
Adapun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari-Juli 2019 nilai ekspor pupuk dari Indonesia naik menjadi US$576,48 juta. Perolehan tersebut naik 55,27% dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$371,27 juta.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, para produsen pupuk RI dapat memanfaatkan peluang penurunan produksi di China guna meningkatnya pasokannya ke pasar global. Dia mengatakan, para produsen dapat menekan ongkos produksinya agar lebih efisien sehingga produknya dapat diminati di pasar global.
“Saat ini sejumlah produsen sudah mulai menambah kapasitas produksinya. Ke depan, potensi ekspor dari sektor ini cukup menjanjikan, dengan catatan para produsen harus lebih dahulu mengamankan pasokannya untuk kebutuhan dalam negeri sebelum mengekspor,” katanya.
Terpisah, Ketua Umum Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, industri pupuk nasional dapat terus digenjot volume produksinya sehingga bisa menjadi penyumbang devisa dari sisi ekspor. Namun demikian, dia meminta pemerintah memperbaiki proses distribusi pupuk kepada petani domestik yang selama ini sering menimbulkan polemik.
“Selama ini kegiatan ekspor pupuk selalu disalahkan oleh beberapa pihak, ketika ada petani di sejumlah daerah mengeluhkan sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Tudingannya adalah produsen lebih memilih ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri,” jelasnya.
Dia mengatakan, tudingan-tudingan tersebut sejatinya tidak akan muncul apabila pemerintah memperbaiki proses distribusi pupuk yang selama ini tidak efisien. Di sisi lain, pola tanam dan penggunaan pupuk oleh petani Indonesia yang salah kaprah, membuat alokasi pupuk kimia bersubsidi yang ditetapkan pemerintah selalu dianggap kurang oleh petani.
“Di beberapa daerah, para petani cenderung overdosis ketika menggunakan pupuk kimia bersubsidi. Alasannya, supaya hasil produksinya naik, padahal penggunaan berlebih pupuk kimia justru merusak tanah dan membuat ketergantungan terhadap pupuk tersebut terus meningkat,” katanya.