Apakah Pertamina juga masuk di dalamnya?
Pertamina salah satu yang secara logis itu cukup strategis untuk kami rangkul. Karena, misalnya TPPI memproduksi aromatik, dia juga tetap mengeluarkan migas. Nah, migas ini mau dijual kemana? Yang memiliki konsesi untuk distribusi migas dengan kapasitas besar itu Pertamina, kan?
Tiga perusahaan existing kapasitasnya berapa?
Kapasitas produksinya sudah 100%. Enggak bisa digabung karena produknya beda-beda. Polipropilena yang diproduksi Polytama itu 300.000 metrik ton per tahun.
Sebagai pembanding, Chandra Asri 480.000 metrik ton per tahun. Untuk konteks nasional, dua perusahaan ini saja. Dua ini memenuhi sekitar 40% kebutuhan nasional. Ada Pertamina, tetapi kecil. Jadi sebanyak 60% impor.
Kalau impor, belinya pakai dolar AS. Nanti valas guncang lagi. Kalau dua etil heksanol, produksinya mencapai 150.000 metrik ton per tahun. Kalau TPPI dioperasikan untuk aromatik itu dapat menghasilkan 1 juta ton per tahun, BBM 1,7 ton per tahun.
Pasarnya untuk lokal pun masih absorb. Kalau TPPI tidak produksi, sekitar 70% masih impor. Kalau tidak berproduksi itu aromatik. Jadi, sebenarnya first priority kami jual untuk lokal sebagai substitusi impor. Namun, kalau tidak jual ke lokal, misalnya kami jual ke luar, misalnya saja nih, itu kami jual ke pasar internasional, yang terjadi adalah barang itu balik lagi ke Indonesia.
Apa rencana strategis Tuban Petro ke depan?
Yang akan kami lakukan, pertama, adalah meningkatkan produksi dari 240.000 menjadi 300.000 metrik ton per tahun.
Kedua, karena propilena itu produksi dalam negerinya susah dan di pasar juga susah. Kami akan membuat pabrik bahan baku propilena ini sendiri dengan bahan dari propan.
Propan itu gas alam, dan karena dari gas alam, maka biaya produksinya murah. Dan kita sedang melakukan feasibility study, kemudian akan masuk mulai Januari front end design sehingga mungkin pada tahun depan insyaallah sudah bisa mulai diresmikan peletakan batu pertamanya.
Nah propilena ini buat apa, untuk menyuplai kebutuhan bahan baku impor. Tadi saya cerita bahwa PON itu saat ini market sedang turun dan profitabilitasnya menipis, karena pasar utamanya yakni China sedang banjir.
Maka, cara kami untuk mulai memperlebar keuntungan bukan ke produk, tetapi ke bahan bakunya. Kami cari sumber bahan baku yang murah. Nah, dari situlah nanti menjadi sumber bahan baku dari PON. Sekitar 120.000 ton per tahun.
Ketiga, membuat pabrik polipropilena yang kedua. Pasarnya saat ini juga masih lebar, karena 60% masih impor.
Keempat, menyelesaikan integrasi TPPI dengan kami membangun pabrik olefin. Ini yang kami rencanakan bisa membangun pabrik olefin bersama-sama dengan Pertamina. Karena Pertamina sudah 48% di TPPI. Itu tahapannya.
Itu semua secara overall bakal membutuhkan waktu berapa lama?
Secara overall membutuhkan durasi waktu 3 sampai 4 tahun. Kalau kami melihat ke depan waktu 3--4 tahun itu kok waktu yang lama, tetapi kalau dilewati itu sangat cepat.
Tuban Petro masih memiliki utang sekitar Rp800 miliar kepada pemerintah. Bagaimana penyelesaiannya?
Kami mungkin bicaranya bukan prioritas berapa tahun, tetapi harus cari keseimbangan karena kalau misalnya pemerintah mau cepat-cepat ingin yang Rp800 miliar ini dilunasi, di satu sisi bagus, tetapi di sisi lain, usaha untuk mengembangkan Tuban Petro menjadi integrated petrochemical tadi akan kesulitan.
Karena bank jadi enggan. Kami akan cari keseimbangannya. Namun yang jelas, ini kan sebenarnya bicara mengenai penjadwalan kembali utang. Itu sebenarnya kami harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ada saat ini.
Tuban Petro ingin menggandeng investor. Kriteria investor strategis seperti apa yang diinginkan oleh Tuban Petro?
Yang bisa memberi kontribusi dan perannya itu benar-benar ada sesuatu yang penting yang dia bawa untuk membangun industri petrokimia ini.
Apakah sampai saat ini sudah ada calonnya siapa saja?
Kalau tahap awal ini kami rencana akan mengundang atau memprioritaskan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dulu.
Pewawancara: Puput Ady Sukarno/Sri Mas Sari