Bisnis.com, JAKARTA -- Kalangan importir bawang putih Tanah Air belum satu suara soal rencana Kementerian Pertanian untuk mengubah skema wajib tanam tanam bawang putih dengan pengenaan tarif impor tambahan yang dibebankan kepada importir.
Pemerintah diharapkan dapat melibatkan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan ini.
Ketua II Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Valentino mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut karena Indonesia telah memberlakukan bea masuk sebesar 5 persen untuk impor bawang putih. Besaran ini merupakan bagian dari kesepakatan antara negara-negara Asean dengan China.
“Kita tidak bisa serta-merta menaikkan tarif, perlu pembicaraan yang panjang lintas kementerian dan stakeholder terkait,” kata Valentino kepada Bisnis, Selasa (22/9/2020).
Pembebanan tarif bea masuk atas impor bawang putih sendiri tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Klasifikasi Barang dan Pembebanan Bea Tarif Masuk atas Barang Impor.
Valentino juga berpendapat bahwa tambahan tarif pada impor bawang putih, yang mayoritas dipasok China, bisa memunculkan respons dari negara tersebut dengan pemberlakuan bea masuk tambahan pada produk Indonesia.
Baca Juga
Dia mengharapkan pemerintah dapat melibatkan stakeholder terkait untuk rencana perubahan wajib tanam dengan mekanisme ini.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) Mulyadi menilai hal tersebut seharusnya tak menjadi masalah lantaran bea masuk bakal dibebankan kepada importir.
Dia menegaskan bahwa pengenaan bea masuk impor bakal lebih adil karena pungutan yang masuk bisa tetap dimanfaatkan untuk pengembangan bawang putih di dalam negeri.
Selain itu, Mulyadi pun menilai pengenaan tarif masuk tambahan untuk bawang putih bisa menjadi win-win solution bagi pelaku usaha maupun pemerintah. Dia menjelaskan bahwa kewajiban tanam dirasa berat bagi importir, terutama bagi perusahan dengan keterbatasan dana.
“Kami mencatat terkadang biaya untuk menanam bisa lebih tinggi dibandingkan modal untuk impor. Biaya produksi bisa mencapai Rp40.000 per kilogram, sementara impor hanya Rp8.000 per kilogram, dari perbedaan ini saja sudah terlihat bahwa importir mengalami kendala,” kata Mulyadi.
Terlepas dari hal tersebut, dia tak memungkiri jika tambahan bea masuk bisa berimbas pada harga bawang putih di pasaran. Oleh karena itu, besaran tarif dia harapkan dapat dihitung dengan tepat jika akan diberlakukan.
“Kami harap besarannya tidak besar, mungkin Rp500 sampai Rp1.000 per kilogram, itu tergantung hitungan ideal, karena akan memengaruhi harga di konsumen,” lanjutnya.
Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan mengemukakan kebijakan wajib tanam sejatinya baik lantaran bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor.
Namun melihat implementasi yang masih rendah, dia menyebutkan ada kondisi yang mungkin memicu hal tersebut. Mulai dari kemampuan pihak yang berkewajiban sampai kondisi teknis di lapangan.
“Saya pribadi menilai perlu ada skema kebijakan yang fleksibel dan adaptif. Artinya kebijakan yang bisa menyesuaikan perkembangan di pasar. Jadi kebijakan yang tak hanya dianggap sebagai beban,” kata Fajar.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi mengatakan bahwa usulan yang menyangkut bea masuk produk yang diimpor tentunya akan menjadi pembahasan lintas kementerian dan lembaga. Meski demikian, dia menilai perlu ada opsi kebijakan lain lantaran tarif untuk impor barang dari China telah disepakati lewat Asean-China Free Trade Area.
“Pasti akan dirapatkan lintas kementerian dan lembaga. Namun kelihatannya perlu opsi lain karena kita sudah punya Asean-China Free Trade Area,” kata Didi.