Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperkirakan kelangkaan bawang putih yang memicu melambungnya harga bakal kembali terjadi pada 2021.
Juru Bicara Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengatakan bahwa kelangkaan pada 2021 bisa terjadi sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah memberlakukan aturan yang rigid sehingga berpengaruh pada jendela impor komoditas tersebut.
“Bawang putih itu komoditas yang dipakai sehari-hari jadi tidak akan terjadi lonjakan permintaan seperti komoditas lainnya misalkan farmasi pada saat terjadi pandemi atau mie instan pada saat terjadi bencana alam,” jelasnya, Senin (7/12/2020).
Menurutnya, karena bawang putih merupakan komoditas sehari-hari, maka kelangkaan stok dapat diantisipasi dengan menerapkan strategi membuka keran impor setiap saat sehingga harga di pasaran bisa kompetitif dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Kuota impor bawang putih yang rigid, tutur dia, tidak semestinya diterapkan karena tidak ada pelaku usaha dalam negeri yang memproduksi bawang putih.
“Kuota itu diperlukan untuk melindungi komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Bawang putih tidak ada yang memproduksi di dalam negeri jadi untuk apa juga kuota yang rigid seperti yang diterapkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Baca Juga
Pada 2019, KPPU telah melayangkan saran dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai importasi bawang putih. Sayangnya, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sehingga kejadian kelangkaan diyakini bakal terjadi pada tahun-tahun mendatang.
Saat itu, Taufik Aryanto, Deputi Bidang Pengkajian Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan bahwa pihaknya melakukan pengkajian perihal tata niaga bawang putih setelah terjadi lonjakan harga komoditas tersebut di pasar pada Februari-Mei 2019.
“Semula kami menduga bahwa harga yang tinggi itu disebabkan oleh tidak adanya impor Januari-April 2019, perubahan tata kebijakan importasi serta memberikan market power bagi importer, hambatan pasokan ke pasar yang dilakukan importer pada awal 2019 dan potensi persaingan tidak sehat di mana pelaku membatasi peredaran atau penjualan pada pasar,” ujarnya.
Dari situ, pihaknya merangkai runtutan penyebab terjadinya lonjakan harga yang tinggi dikarenakan terlambatnya rencana impor produk holtikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian serta surat peersetujuan impor (SPI) dari Kementerian Pertanian.
Yang menarik, lanjutnya, keterlambatan penerbitan ini kerap terjadi setiap pergantian tahun sehingga pada awal tahun harga bawang putih selalu melonjak tinggi.
“Pada Desember 2018, tercatat 24 importir yang sudah memperoleh SPI dan merealisasikan volume impor mendekati kuota yang diprediksi bisa memenuhi pasokan Januari-April 2019. Pada Januari-Maret 2019, tidak ada penerbitan RIPH dan SPI walah terdapat pengajuan dari importer selama periode tersebut. Pada bulan-bulan itu terjadi peningkatan harga padahal di negera asalnya, justru terjadi penurunan harga,” urainya.
Adapun margin bruto, belum termasuk biaya penyusutan, distribusi dan tenaga kerja dari perdagangan bawang putih di Indonesia dalam periode Januari 2018 hingga Mei 2019 berkisar antara Rp352,21 juta hingga Rp2,4 triliun dengan rerata margin sebesar Rp672,5 juta.
Secara akumulatif, margin bruto Januari-Desember 2018 sebesar Rp8,6 triliun dengan total realisasi sebesar 577.501 ton. Sementara itu, margin pada April-Mei 2019 sebesar Rp2,2 miliar dengan volume impor 56,2 juta.
KPPU juga menemukan fakta bahwa selama tiga tahun sejak 2015-2018, terjadi penurunan impor pada periode Januari-Maret. Hal ini dapat diperinci pada 2015, jumlah impor mencapai 77,6 juta ton. Setahun berikutnya turun menjadi 77,2 juta, lalu pada 2017 jumlah impor sebesar 60,9 juta dan pada 2018 anjlok menjadi 3,9 juta ton.
Dari berbagai fakta tersebut, KPPU kata Taufik, menganalisis bahwa tingginya harga bawang putih pada Maret-Mei 2019 disebabkan oleh minimnya pasokan di pasar.
Salah satu alasannya diakibatkan oleh kebijakan wajib tanam sebesar 5 persen dari jumlah kuota impor yang dibebankan kepada impotir menyebabkan terhambatnya penerbitan RPIH. Pasalnya, proses klarifikasi terjadi sepanjang awal tahun (Januari-Maret).
“Penerbitan RPIH dapat dilakukan setelah proses verifikasi selesai dilakukan,” ucapnya.
Keterlambatan, lanjutnya, juga terjadi di Kementerian Perdagangan lantaran SPI baru terbit pada April 2019. Kondisi ini menyebabkan importir yang sudah memiliki SPI per Oktober 2018 dan sudah merealisasikan impor berdasarkan kuota yang dimiliki, dapat menguasai pasokan pasar domestik.
KPPU menilai pola penerbitan SPI yang dilakukan oleh pemerintah dapat diprediksi oleh pelaku pasar sehingga peluang untuk eksploitasi pasar melalui penguasaan pasokan relatif besar.
Atas temuan tersebut, tuturnya, KPPU menyatakan ada beberapa saran yang akan disampaikan ke pemerintah untuk melakukan penyederhanaan prosedur impor bawang putih untuk pemenuhan kebutuhan domestik.
Penerbitan izin impor seyogyanya didasarkan pada permintaan yang telah memenuhi prasyarat dan dilakukan sesuai dengan waktu realisasi impor yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
“Jadi penerbitan izin itu dilakukan secara random sepanjang tahun. Tidak harus menunggu di awal menjelang pertengahan tahun,” jelasnya.
Selain itu pihaknya juga mengusulkan agar pungutan tarif yang dikenakan terhadap impor bawang putih dapat digunakan untuk mendukung program swasembada bawang putih yang ditargetkan terjadi pada 2021.
“Perlu juga melakukan pengawasan dan pencatatan realisasi impor sampai ke distribusi di tingkat pengecer menjadi tugas dan tanggung jawba instansi terkait,” pungkasnya.