Bisnis.com, JAKARTA – Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mencatat rata-rata utilisasi kapasitas industri baja nasional masih rendah, yakni di angka 52 persen.
Ketua Umum IISIA Silmy Karim mengatakan bahwa rendahnya utilisasi kapasitas industri baja nasional tak lepas dari dampak masuknya baja impor, khususnya di hilir.
“[Utilisasi industri baja] Dalam negeri stagnan karena baja impor, khususnya di hilir masuk lagi, khususnya di 6 bulan terakhir,” ujar Silmy kepada Bisnis belum lama ini.
Silmy pun mengimbau kepada pemerintah untuk terus mengendalikan impor dan meningkatkan penggunaan baja dalam negeri. Jika dua upaya itu dimaksimalkan, maka utilisasi industri bisa terkerek hingga 80 persen.
Dia menjelaskan, produk impor saat ini memiliki kemudahan untuk memasuki pasar Indonesia sebagai dampak dari perjanjian perdagangan bebas yang menerapkan tarif sangat rendah, bahkan sampai 0 persen.
Menurutnya, banyak importir melakukan kecurangan dengan mengalihkan kode HS dari baja karbon ke baja paduan. Hal itu dilakukan untuk menghindari bea masuk.
Baca Juga
“Kami tidak anti terhadap baja impor, tapi jangan sampai baja yang masuk ke Indonesia itu dumping, atau baja-baja yang tidak sesuai dengan SNI, atau baja-baja yang menghindari bea masuk,” lanjutnya.
Peluang bagi industri, kata dia, yakni proyeksi kebutuhan baja domestik yang mencapai 27 juta ton pada 2030. Hal itu pun perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan industri dan perluasan utilisasi kapasitas produksi.
Adapun, krisis energi di China dan India saat ini menambah sentimen positif bagi negara-negara produsen baja, termasuk Indonesia. Salah satu efek yang paling dirasakan oleh produsen baja di dalam negeri adalah mulai terjaganya harga jual.
“Setelah selama ini baja produksi China membanjiri pasar dan dianggap merusak harga jual,” kata Silmy.