Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah asosiasi energi surya, baik pengusaha maupun pengguna, berencana untuk melakukan audiensi dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi berkaitan dengan hambatan bisnis pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero atau PLN.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, sejumlah asosiasi terkait bakal mengirimkan surat permohonan audiensi ke Kementerian Sekretaris Negara (Kemensesneg) pekan ini. Fabby berharap audiensi itu dapat digelar sebelum Lebaran tahun ini.
“Enaknya kalau sesudah Lebaran Pak Presiden paham, ya kalau bisa dipanggil direksi PLN-nya dan Kementerian Keuangan karena menurut saya Pak Presiden tidak dapat masukkan yang lengkap,” kata Fabby saat ditemui di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Adapun, rencana audiensi itu sudah disepakati AESI bersama dengan asosiasi lainnya, seperti Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), dan Asosiasi Pembangkit Surya Atap Bali (APSA).
Keinginan audiensi itu, kata Fabby, berangkat dari kegelisahan asosiasi atas sikap PLN yang tidak taat pada sejumlah ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.26/2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Misalkan, Fabby menerangkan, hingga saat ini perusahaan setrum pelat merah itu belum kunjung menerapkan kebijakan ekspor listrik 100 persen sebagai pengurang tagihan seperti diamanatkan dalam Permen ESDM tersebut.
Baca Juga
Padahal, kata dia, pelonggaran kebijakan ekspor listrik 100 persen lewat perhitungan net metering itu dapat membantu keekonomian inisiatif pemasangan PLTS atap dari sektor rumah tangga hingga industri.
Selain itu, dia menuturkan, belakangan beredar surat internal PLN yang meminta pejabat setara general manager (GM) untuk membatasi kapasitas daya terpasang dari pengembangan PLTS atap di sejumlah daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali.
“PLN sampai hari ini enggan menjalankan Permen 26 Tahun 2021, PLN mengizinkan pemasangan PLTS atap tapi muncul surat edaran internal yang memerintahkan agar GM PLN hanya mengizinkan pemasangan kapasitas maksimal 15 persen dari kapasitas terpasang,” tuturnya.
Menurut dia, kebijakan PLN yang cenderung kontraproduktif untuk investasi serta pengembangan industri panel surya di dalam negeri itu berdampak negatif pada kelanjutan bisnis PLTS atap domestik. Konsekuensinya, kata dia, sebagian besar pabrik rakitan panel surya dalam negeri berhenti beroperasi beberapa tahun ini.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merampungkan revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU.
Revisi itu diharapkan dapat menjadi jalan tengah antara kepentingan PLN dengan industri dan masyarakat yang berinisiatif untuk meningkatkan pemasangan panel surya mendatang.
“Revisi Permen itu akan memberikan kesempatan luas bagi konsumen untuk memasang PLTS Atap dengan tidak diberlakukannya batasan kapasitas sepanjang masih tersedia kuota pengembangan,” kata Dadan saat dihubungi, Senin (16/1/2023).
Aturan lain yang ingin didorong, kata Dadan, berkaitan dengan skema ekspor listrik yang semula sebagai pengurang tagihan PLTS Atap. Lewat revisi itu, pemerintah bersama dengan PLN sepakat untuk meniadakan skema tersebut.