Bisnis.com, JAKARTA — Keraguan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 menjadi sorotan di kalangan ekonom. Salah satu lembaga riset, Indef, mendesak pemerintah untuk memberikan keterbukaan atau transparansi informasi publik guna menjaga kinerja makroekonomi.
Ekonom Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan kinerja ekonomi nasional, transparansi data publik tak hanya sebagai mandat moral dan konstitusional, melainkan fondasi utama dalam membangun kepercayaan pasar dan masyarakat.
"Saya mendorong pemerintah, khususnya Presiden dan para Menteri, utamanya Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Kepala BPS, untuk mengembalikan komitmen terhadap keterbukaan data dan transparansi informasi publik," kata Ariyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (10/8/2025).
Dalam hal ini, dia juga menyoroti sejumlah paparan publik yang dilewatkan oleh pemerintah beberapa waktu terakhir. Menurut Ariyo, beberapa data penting terkait kinerja ekonomi dan kebijakan publik mengalami pengurangan intensitas publikasi.
Misalnya, publikasi 'APBN Kita' yang sebelumnya dirilis rutin tiap bulan oleh Kementerian Keuangan sebagai instrumen akuntabilitas fiskal, namun belakangan tidak lagi diterbitkan sejak awal tahun.
"Padahal, laporan tersebut memuat informasi strategis terkait belanja negara, defisit, dan realisasi pendapatan yang sangat diperlukan untuk analisis independen para akademisi, pengusaha, dan masyarakat luas," tuturnya.
Baca Juga
Tak hanya itu, data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya dirilis secara berkala oleh Kementerian Ketenagakerjaan kini publikasinya mengalami kemunduran dalam hal waktu.
Menurut Ariyo, data tersebut sangat penting di tengah dinamika pasar tenaga kerja yang sensitif terhadap perubahan ekonomi dan teknologi.
Kekhawatiran makin meningkat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (year-on-year) yang disebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Sebab, dia menilai mesin-mesin pertumbuhan seperti investasi dan ekspor terlihat masih belum sepenuhnya pulih. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menunjukkan pelemahan yang konsisten dengan sinyal-sinyal tekanan daya beli masyarakat.
"Jika pemerintah memaksakan narasi positif tanpa dukungan data yang utuh dan kredibel, maka kepercayaan pasar dan publik justru bisa terguncang," jelasnya.
Dia menekankan bahwa sejumlah ekonom dan akademisi memiliki kemampuan serta perangkat analitis untuk mendeteksi anomali atau manipulasi data.
Dengan keterbukaan dan publikasi data yang konsisten, pemerintah justru akan dapat masukan yang objektif dan berbasis bukti yang dibutuhkan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan publik secara berkelanjutan.
Sebab, Ariyo menilai setiap pemerintahan, tanpa terkecuali, pasti memiliki blindspot terhadap efektivitas kebijakan maupun kondisi di lapangan, terlebih di negara seluas dan sekompleks Indonesia.
Dalam hal ini, transparansi data memungkinkan terjadinya dialog kebijakan yang sehat, dan pada akhirnya berujung pada kebijakan yang lebih responsif dan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.
"Ketidaktransparanan bukan hanya merusak kredibilitas pemerintah saat ini, tapi juga mengurangi kualitas pengambilan keputusan jangka panjang," tuturnya.