Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Minta MK Tolak Permohonan Uji Materil UU HKPD

Kemenkeu meminta MK menolak permohonan uji materi UU No.1/2022 tentang HKPD karena tidak memiliki dasar kuat
Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu)/kemenkeu.go.id
Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu)/kemenkeu.go.id

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan uji materi Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) para pemohon.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman menyampaikan, ketentuan pasal-pasal dalam UU HKPD yang diuji materi tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 sehingga dalil para pemohon menjadi tidak beralasan dan tidak berdasar.

“Sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan menolak permohonan uji materi para pemohon,” kata Luky dalam sidang Pengujian Materiil UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/7/2024).

Secara terperinci, Luky menuturkan bahwa UU HKPD mengatur pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebagai pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan atau jasa tertentu, salah satunya adalah jasa kesenian dan hiburan.

Menurutnya, PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukan merupakan suatu jenis pajak baru karena objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan pada Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Dalam UU HKPD, pemerintah mematok besaran tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa dengan tarif paling rendah sebesar 40% dan paling tinggi 75%.

“Kebijakan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa objek ini hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu serta memberikan nilai utilitas lain berupa prestise, gaya hidup atau lifestyle dan status sosial,” jelas Luky.

Dia mengatakan, pajak yang dikenakan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah tapi juga memastikan bahwa kegiatan usaha tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku serta berkontribusi pada perekonomian lokal.

Di sisi lain, dalil para pemohon yang menyatakan penetapan tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan yang dapat menurunkan daya jual bagi industri dinilai tidak tepat.

Merujuk teori Conspicuous Consumption, Luky menuturkan bahwa konsumen akan tetap membeli barang walau harganya naik, termasuk di dalamnya ada kenaikan akibat pajak, sepanjang barang tersebut memberikan nilai utilitas lain berupa prestise, gaya hidup, lifestyle, dan status sosial mereka.

Kemudian dalam dalil para pemohon dalam perkara Nomor 19, pemohon mendalilkan pengelompokan mandi uap/spa ke dalam klasifikasi seni dan hiburan mengakibatkan kerugian konstitusional.

Merespons hal itu, Luky menjelaskan bahwa pengaturan mandi uap dan spa sebagai objek pajak daerah bukan merupakan hal baru. Dalam Undang-Undang PDRD, mandi uap/spa dipungut sebagai pajak hiburan yang kemudian dalam Undang-Undang HKPD dipungut sebagai objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.

Bahkan secara historis, lanjutnya, penetapan mandi uap dan spa sebagai objek pajak daerah telah diatur sejak UU No.18/1967 jo UU No. 4/2000.

Menurutnya, penetapan mandi uap/spa sebagai objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, karena mandi uap/spa bukan merupakan bentuk pelayanan kesehatan dasar dan primer, karena fungsinya lebih mengarah pada bentuk pemenuhan hiburan atau gaya hidup yang menjadi trend pada kelompok masyarakat tertentu. 

Pihaknya juga menegaskan bahwa tidak terdapat pajak berganda pada pungutan PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada mandi uap/spa dengan pajak atau pungutan lainnya.

Atas penjelasan tersebut, pemerintah menyimpulkan bahwa para pemohon telah keliru dalam menafsirkan ketentuan normal dalam Pasal 55 ayat 1 huruf I, Pasal 58 Ayat 2, dan penjelasan Pasal 55 ayat 1 huruf l. 

Pemerintah juga meminta MK untuk memutus permohonan pengujian UU HKPD terhadap UUD 1945 dan memberikan keputusan, pertama, menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan. Kedua menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing dan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima. Ketiga, menolak permohonan pengujian material para pemohon untuk seluruhnya. 

“Kempat, menyatakan UU HKPD tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya,” pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper