Bisnis.com, JAKARTA — Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengaku bingung dengan target penerimaan pajak buruh dan korporasi yang ditetapkan pemerintah dalam Perpres Nomor 201/2024 tentang Rincian APBN 2025.
Haula menyoroti target PPh Pasal 21 (pajak buruh) sebesar Rp313,5 triliun pada tahun depan. Jumlah tersebut naik 45,6% dibandingkan target PPh 21 tahun ini yaitu Rp98,3 triliun.
Padahal, menurutnya, sedang terjadi penurunan daya beli masyarakat. Haula menggarisbawahi bahwa jika daya beli tidak kunjung membaik maka produktivitas korporasi—yang menggaji buruh—akan turun
"Jadi how come [bagaimana bisa] gitu loh PPh Pasal 21 itu ditingkatkan kalau tidak dijamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang banyak dan dipastikan tidak akan ada PHK masif? PPh 21 itu enggak berdiri sendiri," jelas Haula kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).
Profesor perempuan bidang perpajakan pertama di Indonesia ini tidak menampik bahwa pemerintah telah memutuskan upah minimum provinsi (UMP) naik 6,5% pada 2025. Kendati demikian, sambungnya, pemerintah juga berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
Oleh sebab itu, Haula meyakini kenaikan upah buruh tidak akan terlalu mendongkrak daya beli masyarakat karena pada saat yang sama masyarakat juga tertekan kenaikan tarif PPN.
Baca Juga
Di sisi lain, dia menyoroti target penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan (pajak korporasi) sebesar Rp369,95 triliun pada 2025. Jumlah tersebut turun 13,6% dari target tahun ini yaitu Rp428,59 triliun.
Artinya, jelas Haula, pemerintah sadar betul bahwa telah terjadi penurunan produktivitas korporasi dalam negeri sehingga tidak yakin penerimaan PPh Badan tidak semakin bertambah pada 2025.
"Kenapa produktivitas turun? Tadi, karena demand-nya [permintaan/daya beli] turun, otomatis kan tadi laba usahanya juga akan turun. Nah laba usaha turun, PPh Badan juga akan turun," ujarnya.
Dia pun mengingatkan agar pemerintah menetapkan target penerimaan pajak secara komprehensif, solutif, dan imparsial. Haula mencontohkan, pemerintah perlu memerhatikan lagi keterkaitan satu sektor dengan sektor lain agar sistem perpajakan tidak mengganggu kondusivitas iklim usaha seperti yang ditunjukkan Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave dalam buku Public Finance in Theory and Practice.
"Jadi memang kalau bikin perencanaan perpajakan, itu harus tahu dan paham dulu bagaimana sih sebetulnya keterkaitan antara satu pajak dengan pajak lainnya atau dengan mendasarkan siklus ekonomi yang ada di dalam masyarakat," tutup Haula.