Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan transaksi pembayaran melalui QRIS dikenai tarif pajak pertambahan nilai alias PPN. Kendati demikian, Ditjen Pajak mengklaim harga bayar menggunakan QRIS dan tunai akan sama.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menjelaskan transaksi QRIS sudah lama menjadi objek PPN sejak ketentuan PMK No. 69/2022. Hanya saja, tarif PPN tersebut ditanggung oleh merchant (Gopay, OVO, dan sejenisnya) bukan konsumen/pelanggan.
Artinya, dasar pengenaan transaksi QRIS adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa (provider) dari pemilik merchant.
"Nanti ada mekanisme antara provider dengan merchant-nya. Nanti merchant yang bayar PPN-nya. Berapa tarif jasanya? Bisa jadi 0,1% dari transaksi bisa jadi 0,2%. Itu sebenarnya merchantnya yang bertanggung jawab dengan provider. Kita mau bayar sama-sama aja," kata Dwi dalam konferensi pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta Selatan, Selasa (23/12/2024).
Dia mencontohkan, A membeli TV seharga Rp5.000.000. Atas pembelian tersebut, dia terutang PPN sebesar Rp550.000 (asumsi PPN masih 11%), sehingga total pembayaran Rp5.550.000.
Dwi menyatakan, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh A tidak akan berbeda apabila menggunakan QRIS maupun menggunakan tunai. Alasannya, karena merchant yang akan menanggung tarif PPN-nya bukan konsumen.
"Bertransaksi dengan QRIS maupun dengan uang cash [tunai] itu sama. Ini yang saya ingin memberikan klarifikasi. Jadi, beli gorengan pakai QRIS maupun pake cash akan sama harganya," katanya.
Lebih lanjut, Dwi mengaku tidak bisa memastikan tidak akan ada kenaikan harga barang/jasa usai PPN naik dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Ditjen Pajak, sambungnya, tidak bisa mengatur harga dari produsen.
Sebelumnya, Dwi juga menjelaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% ini sejatinya merupakan amanat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sesuai kesepakatan pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
“Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” tutupnya.