Bisnis.com, JAKARTA - Pemagaran laut sejauh 30,16 km di perairan pesisir Kabupaten Tangerang memicu tanda tanya besar. Mengapa dipagari dan siapa pelakunya. Fenomena ini merupakan tindakan pengkavlingan perairan pesisir yang dahulu dikenal dalam UU No. 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PWP3K) sebagai hak pengusahaan perairan pesisir (HP3).
HP3 dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan amarnya No. No 3/PUU-VIII/2010. Pemagaran laut ini berarti melanggar UU No. 27/2007 dan revisinya UU No. 1/2014. Secara kelembagaan, kisruhnya masalah dipicu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) No. 7/2023 dan tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) hingga perubahannya No. 7/2023, No. 8/2023, dan No. 6/2024.
Di berbagai daerah PSN ditolak hingga memicu konflik masyarakat dengan pemerintah/aparat maupun korporasi, misalnya pulau Rempang. Alhasil, Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan berencana mengevaluasi proyek PSN apabila tak bermanfaat bagi masyarakat khususnya nelayan.
Perampasan Pesisir
Beragam kejadian perampasan laut (ocean grabbing) di Indonesia membuktikan gagal menyejahterakan nelayan. Contohnya, penambangan pasir laut di Kepulauan Riau (Kepri) sepanjang 1976—2003, hingga pertambangan di pulau kecil. Perampasan ruang laut (space) dan sumber dayanya (resources) lewat konspirasi negara/pemerintah dengan korporasi (oligarki) malah memakan korban rakyat yang mendiami pesisir, dan pulau kecil (Bennet et al, 2015).
Penambangan di pesisir dan pulau kecil memperparah kerusakan ekologi dan fragmentasi ekosistem pesisir, serta pulau kecil. Apalagi pelakunya membuang limbahnya ke perairan pesisir. Contohnya, penambangan nikel di P. Wawonii, Sulawesi Tenggara, P. Sangihe dan P. Bangka (emas) di Sulawesi Utara.
Imbasnya, pertama, pemerintah telah mengalihkan ruang daratan, perairan pesisir dan pulau kecil kepada korporasi-oligarki yang menutup akses masyarakat lokal mengelola dan memanfaatkannya. Hak akses dan kelola masyarakatnya hilang, terusir dan terpinggirkan hingga diokupasi lahan dan perairan.
Baca Juga : Ribut-ribut Pagar Laut: Siapa Turut Tersangkut? |
---|
Kedua, mengubah rezim hak kepemilikan sumber daya daratan maupun perairan pulau (property right). PSN dan hak konsesi izin eksploitasi dan ekstraksi di pesisir dan pulau kecil menyebabkan akses dan preferensi warganya terbatas.
Rezim pengelolaan dan kepemilikannya berubah dari kepemilikan sumber daya bersama (common pool resources) dan akses terbuka (open acces) menjadi privat (private property right). Artinya, perairan pesisir dan pulau kecil (P3K) diprivatisasi melalui komodifikasi dan monetisasi, umpamanya pulau Rempang.
Ketiga, mengubah rezim “pengalokasian” ruang dan sumber daya pesisir dan pulau kecil. Sebelumnya P3K merupakan lahan pertanian warga, kawasan hutan, habitat satwa dan tempat masyarakat bermukim dan beraktivitas. Umpamanya kehadiran ekosistem mangrove dan terumbu karang di P3K berfungsi sebagai habitat ikan.
Aturan PSN tampaknya mengubah alokasi ruang dan pemanfaatannya hingga merampas hak-hak warganya. Kelak memperparah degradasi dan fragmentasi habitat, serta perubahan ekologi. Ditambah ancaman kemiskinan ekstrem, krisis ekologi hingga konflik sosial.
Keempat, mengubah rezim “pemanfaatan” ruang dan sumber daya akibat pergeseran orientasi. Selama ini sebagai lahan pertanian tanaman pangan menyediakan makanan, kawasan hutan, dan sumber mata air di pulau kecil menopang pasokan air bersih. Kehadiran PSN malah mengubah dan menghilangkan fungsinya.
Ekosistem mangrove dan terumbu karang di pesisir bakal rusak akibat buangan limbah industri dan permukiman. Ruang hidup satwa dan tanaman endemik hilang akibat perubahan alih fungsi lahan hingga terancam kepunahan.
Hasil analisis Permenko Perekonomian No. 8/2023 dan No. 6/2024 ditemukan sekitar 28 PSN berlokasi di wilayah pesisir dan pulau kecil Indonesia, yakni: (i) kepelabuhanan; (ii) kawasan industri; (ii) tanggul pantai; (iv) sektor teknologi; (v) pariwisata; (vi) pembangunan smelter nikel, pengolahan dan pemurnian bauksit serta pasir besi, (vii) kawasan green Area dan eco-city dan (viii) Tol Semarang—Demak di atas laut.
Menariknya, ada PSN ditengarai berada dalam cengkraman oligarki. Padahal, PSN program pemerintah. Lantas mengapa oligarki mengendalikan dan mengelola PSN? Bukankah hal ini bertentangan UUD 1945 dan UU Pokok Agraria No. 5/1960?
Batalkan PSN
PSN diberlakukan sejak 2016 memiliki payung hukum UU Cipta Kerja No. 11/2020, Perppu Cipta Kerja No. 2/2022 dan revisinya, UU No. 6/2023. Aturan turunannya: Peraturan Pemerintah (PP) No. 42/2021 dan Permenko Perekonomian di bidang kelautan dan perikanan terkait PP No. 27/2021 yang membolehkan mengubah kawasan konservasi menjadi pemanfaatan.
Jika merujuk pemikiran peraih hadiah Nobel Ekonomi 2024: Daron Acemoglu, Simon Johnson, (Massachusetts Institute of Technology/MIT), dan James Robinson (Chicago University), maka semua regulasi di atas tergolong kelembagaan ekstraktif yang memicu kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Keberadaan beberapa PSN ditengarai dalam cengkraman oligarki dan perburu rente ekonomi (economic rent seeker). Modusnya melalui konspirasi dan kongkalikong antara oknum penguasa bersama elit masyarakat sebagai komprador dengan oligarki. Korbannya nelayan tradisional yang teralienasi dan tertindas akibat hak akses dan kelolanya atas ruang laut dan sumber dayanya dirampas. Tak ubahnya VOC di era kolonialisme Belanda.
Implikasinya, menimbulkan perlawanan publik/masyarakat secara politik lewat “tindakan kolektif” di pelbagai daerah seperti Jawa Barat, Banten, dan Jakarta (baca: Olson 1971), yang dimotori kaum intelektual-terdidik, tokoh nasional (termasuk purnawirawan), mahasiswa, ormas dan gerakan masyarakat sipil yang menolak PSN. Mereka mengharapkan Presiden Prabowo Subianto meninjau ulang hingga membatalkannya di seluruh Indonesia karena menyengsarakan rakyat hingga memicu konflik sosial.