Perlu Tax Amnesty Jilid III?
Pemerintah Indonesia telah melakukan kebijakan tax amnesty sebanyak dua kali dalam 10 tahun terakhir, yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.
Namun, dua kali kebijakan tersebut nyatanya belum mampu mendorong tax ratio di atas 11%. Bahkan setelah program berakhir, rasio pajak justru kembali menurun.
Pada tax amnesty I, rasio pajak turun menjadi 10,36% pada 2016 dari tahun sebelumnya 10,76%. tax ratio tahun 2017 juga kembali turun, bahkan hingga mencapai 9,89%.
Sementara itu, tax amnesty jilid II memang mampu mengerek tax ratio ke angka 10,39% pada 2022 dari 9,12% pada 2021. Namun setelah kebijakan berakhir, rasio perpajakan terus turun hingga 10,08 pada 2024.
Di tengah penurunan rasio pajak ini, pengamat menilai wacana penerapan tax amnesty jilid III dinilai kurang tepat untuk meningkatkan setoran pajak pemerintah.
Managing Partner Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi mengaku bingung dengan wacana penerapan tax amnesty jilid III pada tahun ini. Menurutnya, program tax amnesty sangat tidak adil bagi wajib pajak yang sudah patuh memenuhi kewajibannya.
"Dari sisi level of compliance [tingkat kepatuhan] ini tidak tidak mendidik," ujar Ichwan seperti yang disiarkan kanal YouTube SRM Indonesia, dikutip pada Selasa (14/1/2025).
Padahal, sambungnya, Direktorat Jenderal Pajak sudah membangun Coretax atau sistem inti administrasi perpajakan untuk meminimalisir pengemplangan pajak.
Ichwan meyakini Coretax bisa membuat pemerintah semakin mudah mengindentifikasi pengemplang pajak. Dengan demikian, para pelaku pengemplang pajak bisa lebih mudah ditindak secara hukum.
"Ini malah difasilitasi yang tidak comply [patuh] untuk tetap dibebaskan dari jerat hukum gitu, termasuk juga di dalamnya tindak pidana perpajakan, kan, yang digadang-gadang bahwa tax amnesty akan melindungi," ujarnya.
Sejalan, ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyatakan program tax amnesty hanya akan membuat efektivitas perpajakan semakin buruk, apalagi diterapkan dalam waktu dekat.
"Padahal dulu sudah dibilang, 'Ini yang terakhir,' eh, ada lagi. Akhirnya orang akan kehilangan trust [kepercayaan] dan pada akhirnya akan banyak yang ngemplang," jelas Fithra pada kesempatan yang sama.
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini menilai bahwa program tax amnesty diberlakukan berkali-kali hanya menunjukkan ketidakberhasilannya.
"Kalau saya menteri keuangannya, saya tidak akan melakukan tax amnesty sekali lagi. Kenapa? Buruk, kemarin saja sudah enggak berhasil," tutup Fithra.