Bisnis.com, JAKARTA - Komisi XI DPR RI menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal di Indonesia, karena dapat menjadi penghambatan penerimaan negara dari cukai.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan rokok ilegal muncul karena tingginya tarif cukai dan aturan harga jual eceran (HJE) yang menekan kelas rokok tertentu, sehingga mendorong praktik ilegal.
"Rokok ilegal merupakan tantangan serius yang harus segera diatasi oleh Bea Cukai. Rokok ilegal jelas merusak penerimaan negara," ujar Misbakhun dalam keterangannya, Rabu (16/4/2025).
Menurutnya, persoalan rokok ilegal tidak bisa dianggap sepele karena banyak pelaku yang memanipulasi klasifikasi produk. Bahkan ada yang menjual rokok polos tanpa pita cukai.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos menempati posisi teratas sebesar 95,44%, disusul palsu sebesar 1,95%, salah peruntukan 1,13%, bekas 0,51%, dan salah personalisasi 0,37%. Risiko kerugian negara diperkirakan Rp97,81 triliun.
Misbakhun mengatakan tarif cukai yang terus meningkat dan aturan HJE yang sangat ketat, justru mendorong pelaku industri kecil melakukan praktik-praktik ilegal, mulai dari penggunaan pita cukai palsu, pengklasifikasian produk yang tidak sesuai, hingga produksi rokok polos.
Baca Juga
Dia menuturkan fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, dan tidak boleh mengabaikan akar masalahnya. Cukai adalah tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi lebih dari Rp200 triliun tiap tahun.
Misbakhun juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemerintah, pelaku industri, dan seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama mencari solusi.
Secara terpisah, anggota Komisi XI, Muhidin Mohamad Said, menuturkan penurunan ini tidak hanya berdampak pada sisi produksi dan profitabilitas, tetapi juga mengancam ekosistem tenaga kerja yang bergantung pada industri tembakau.
Muhidin mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kampanye kesehatan dan perlindungan terhadap industri rokok yang legal dan mematuhi peraturan.
“Harus ada sinergi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya. Jangan sampai kampanye kesehatan yang terlalu agresif justru mematikan industri tembakau yang legal dan patuh,” tegasnya.