Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi menilai sejumlah langkah pengalihan pasar ekspor mesti dilakukan industri dalam negeri sebagai antisipasi risiko pengenaan tarif resiprokal 32% Amerika Serikat (AS) atas produk Indonesia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, pemerintah perlu memperkuat badan pengembangan ekspor nasional, utamanya dari sisi inovasi produksi hingga promosi.
“Kita harus aktif mencari cara untuk menembus pasar, untuk itu kita butuh market intelligence, butuh market research, apa yang dibutuhkan bagaimana prosedurnya, apa yang bisa kita manfaatkan,” ujar Telisa kepada Bisnis, Selasa (22/4/2025)
Tak hanya itu, Indonesia dinilai perlu lebih agresif dalam memanfaatkan berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah dimiliki, seperti dengan negara-negara di Amerika Latin dan kawasan lainnya.
Selain itu, dia menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan daya saing industri domestik, terutama di sektor manufaktur.
“Kita sudah punya banyak lebih dari 50 perjanjian [perdagangan] bebas dengan berbagai negara, yang baru misalnya Amerika Latin, Peru, kita juga member BRICS itu bisa dimanfaatkan peluang di negara tersebut,“ tambahnya.
Baca Juga
Tak hanya itu, Telisa juga menyoroti potensi pasar India sebagai salah satu dari empat besar ekonomi dunia serta peluang di Eropa dan Timur Tengah yang belum tergarap maksimal.
“Karena selama ini Saudi banyak dari China, juga mungkin Indonesia bisa negosiasi untuk bisa memasukkan barang lebih banyak ke sana, selain barang, jasa juga harus kita genjot,” jelasnya.
Pasar tradisional seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab disebut masih menjanjikan, dengan data ekspor yang cukup baik. Namun, Indonesia dinilai harus bersaing ketat dengan negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh yang dikenal sebagai kompetitor utama di sektor tekstil dan garmen.
“Mungkin ada perubahan preferensi mereka masih mungkin, Indonesia keunggulannya daya saing nya dibanding Vietnam dan Bangladesh, mereka terkenal sebagai kompetitor kita di tekstil dan garmen, jadi harus ada dari sisi model atau kualitas kita jaga selain dari harga,” tambahnya.
Dia juga menekankan pentingnya peningkatan produktivitas industri manufaktur, khususnya garmen, agar Indonesia bisa tetap bersaing secara global.
Selain itu, sektor elektronik, furnitur, dan makanan-minuman (mamin) juga disebut masih memiliki pangsa pasar yang potensial.
“Karena kalo dari harga kita sangat bersaing skali dgn Vietnam, Bangladesh karena upah merek lebih murah dan produktif, selain kualitas kita memang harus meningkatkan produktivitas dari industri manufaktur khsusunya garmen supaya bisa compete,” pungkasnya.