Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan devisa Indonesia ke depan berpotensi menghadapi tren penurunan lebih lanjut akibat ketidakpastian yang tinggi di tingkat global dan domestik yang mempengaruhi kekuatan rupiah.
Pada akhir April 2025, cadangan devisa susut US$4,6 miliar atau anjlok hingga Rp76,72 triliun (kurs JISDOR akhir April Rp16.679 per dolar AS). Utamanya, dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memandang Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan intervensi di pasar valuta asing menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah.
“[Intervensi ini] dapat menyebabkan penurunan cadangan devisa secara bertahap,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (8/5/2025).
Meski demikian, Josua meyakini fondasi makroekonomi Indonesia yang relatif tangguh dan ruang yang semakin luas untuk penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tahun ini dapat terus menarik aliran modal selektif, terutama ke obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN).
Dengan demikian, harapannya rupiah dapat terjaga stabil, begitu pula dengan posisi cadangan devisa Indonesia tak turun terlalu dalam.
Baca Juga
Untuk itu, Josua memperkirakan cadangan devisa Indonesia akan berada di rentang US$152 miliar–US$156 miliar pada akhir 2025. Stabil bila dibandingkan dengan posisi akhir Desember 2024 yang senilai US$155,72 miliar.
Melalui intervensi dan masih tingginya minat asing di pasar keuangan RI, Josua turut memperkirakan rupiah akan diperdagangkan di kisaran Rp16.200 per dolar AS hingga Rp16.500 per dolas AS.
Sementara itu, Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri lebih optimisits memperkirakan cadangan devisa akan tetap stabil dan menguat pada akhir tahun ke rentang US$155 miliar hingga US$160 miliar.
Hal ini didukung oleh surplus perdagangan yang stabil, terutama dari komoditas seperti Batu Bara, CPO, dan logam dasar seperti nikel, tembaga, dan timah.
“Namun, kami mengantisipasi potensi tekanan eksternal yang timbul dari meningkatnya ketidakpastian global, terutama karena meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China dan kebijakan tarif Trump, yang dapat membebani surplus perdagangan Indonesia di masa mendatang,” tuturnya.
Per Maret 2025, surplus neraca perdagangan barang tercatat mencapai US$4,33 miliar dan menjadi rekor surplus selama 59 bulan beruntun.
Asmo menilai, tren surplus perdagangan yang sedang berlangsung kemungkinan akan mendukung tingkat cadangan devisa, meskipun gejolak global dan jatuh tempo utang luar negeri yang diperkirakan sekitar US$8,3 miliar pada tahun ini menjadi tantangan tersendiri.
Tantangan lainnya, risiko arus modal keluar juga dapat meningkat jika pasar kembali mengambil sikap risk-off di tengah meningkatnya volatilitas global.
Apalagi, konflik India-Pakistan baru-baru ini dapat mendorong pelarian modal ke aset-aset yang lebih aman (safe haven) dan memperburuk sentimen terhadap pasar negara berkembang.
Bank Indonesia Janji Jaga Likuiditas
Posisi cadangan devisa usai mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah atau all time high, kini tengah diuji oleh nilai tukar rupiah. Terlebih, telah memasuki musim repatriasi dividen dan akan mencapai puncaknya pada Mei.
Selain itu, siklus pembayaran utang luar negeri juga akan mulai pada bulan Juni mendatang.
Untuk menjaga kestabilan rupiah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) Bank Indonesia Erwin Gunawan Hutapea memastikan bank sentral akan terus berada di pasar dan menjaga kecukupan likuiditas.
“Kami memastikan bahwa likuiditas cukup untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan investor yang memang melakukan repatriasi dividen dan juga korporasi-korporasi yang melakukan pembayaran utang luar negeri,” ujarnya dalam Taklimat Media, Rabu (7/5/2025).