Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Wanti-wanti Tantangan Pembiayaan Utang Pemerintah Rp800 Triliun

Pemerintah harus mengatur strategi untuk melakukan pembiayaan surat utang lebih dari Rp496 triliun dalam waktu sekitar 8 bulan ke depan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta para wakil menteri dan jajaran eselon I Kemenkeu menyampaikan hasil lelang Surat Utang Negara (SUN) di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta pada Selasa (18/3/2025). Pada hari yang sama, IHSG sempat turun hingga 6%. / dok. Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta para wakil menteri dan jajaran eselon I Kemenkeu menyampaikan hasil lelang Surat Utang Negara (SUN) di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta pada Selasa (18/3/2025). Pada hari yang sama, IHSG sempat turun hingga 6%. / dok. Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mewanti-wanti sejumlah tantangan besar pemerintah dalam melunasi surat utang jatuh tempor sebesar Rp800,3 triliun pada tahun ini.

Josua menjelaskan realisasi penarikan utang baru mencapai sekitar Rp304 triliun per akhir April. Artinya, masih terdapat kebutuhan pembiayaan lebih dari Rp496 triliun dalam waktu sekitar 8 bulan ke depan.

"Tantangan-tantangan yang dihadapi bersifat struktural dan siklikal, baik dari sisi domestik maupun global," jelas Josua kepada Bisnis, dikutip Jumat (6/6/2025).

Dia pun mencatat setidaknya ada tiga tantangan utama. Pertama, ketidakpastian global yang ditandai dengan penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral AS Federal Reserve alias The Fed dan meningkatkan tensi geopolitik global seperti perang dagang dan konflik kawasan.

Josua menjelaskan ketidakpastian global menyebabkan volatilitas di pasar keuangan, baik di pasar obligasi maupun valuta asing sehingga berimbas pada naiknya imbal hasil surat utang pemerintah (yield SBN) dan menurunnya minat investor asing.

Dia mencontohkan bahwa proporsi kepemilikan asing dalam SBN terus stagnan di kisaran 14%, jauh di bawah puncaknya yang pernah mencapai 38%.

"Kondisi ini mempersempit ruang bagi pemerintah untuk mengandalkan investor asing dalam proses rollover utang atau pendanaan baru melalui lelang SUN dan SBSN," ujar Josua.

Kedua, tingginya kebutuhan fiskal jangka menengah di domestik. Josua menggarisbawahi bahwa selain untuk refinancing utang jatuh tempo tahun ini, penarikan utang baru oleh pemerintah bertujuan untuk pembiayaan program-program populis pascapemilu seperti makan bergizi gratis, subsidi pupuk, serta potensi pembengkakan belanja program prioritas lainnya.

Akibatnya, tercipta persepsi risiko fiskal ke depan yang dapat mendorong investor meminta premi risiko yang lebih tinggi. Selain itu, sambung Josua, basis pembeli dalam negeri seperti perbankan dan dana pensiun memiliki keterbatasan dalam menyerap SBN tambahan secara berkelanjutan tanpa mengganggu intermediasi kredit.

Ketiga, likuiditas pasar domestik yang relatif ketat. Josua mengungkap likuiditas yang ketat membatasi kemampuan pemerintah untuk agresif melakukan lelang dalam negeri.

Dia mencatat, bid-to-cover ratio atau rasio yang digunakan untuk mengukur permintaan akan surat utang pada masa penawaran dan lelang, SBN dan SBSN berada di kisaran moderat meskipun permintaan cukup tinggi (average incoming bid Rp72,4 triliun, yang dimenangkan hanya sekitar Rp28,2 triliun per lelang) yang menunjukkan sikap hati-hati pemerintah terhadap risiko yield tinggi.

Josua pun melihat pemerintah mengandalkan empat kombinasi strategi untuk menjawab empat tantangan tersebut. Pertama, prefunding sejak akhir 2024, termasuk melalui global sukuk dolar AS dan euro.

Kedua, diversifikasi sumber pembiayaan seperti pinjaman bilateral dan multilateral. Ketiga, koordinasi kebijakan dengan Bank Indonesia, termasuk penguatan instrumen pasar uang seperti SRBI/SVBI yang secara tak langsung menstabilkan permintaan SBN di pasar sekunder.

Keempat, potensi penundaan atau rekalibrasi belanja non-prioritas jika pasar tidak mendukung ekspansi utang yang terlalu cepat.

Hanya saja, Josua mengingatkan jika volatilitas global berlanjut dan pembiayaan melalui lelang tidak mencukupi maka risiko crowding-out effect terhadap sektor swasta meningkat.

"Dalam jangka menengah, tekanan fiskal ini bisa mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang kerangka belanja jangka menengah dan strategi utang secara keseluruhan agar tetap menjaga kredibilitas fiskal dan peringkat utang negara," tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper