Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR baru saja menyelesaikan pembahasan Laporan Realisasi Semester I (Lapsem) dan Prognosis Semester II Pelaksanaan APBN 2025 dan memulai pembahasan Pembicaraan Pendahuluan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026. Kondisi ekonomi dan keuangan global yang makin tidak menentu, ditambah persoalan geopolitik dan perang yang terjadi dibanyak kawasan, menjadi faktor kunci perubahan kondisi ekonomi global.
Kedua pembahasan tersebut, walaupun berbeda siklus pelaksanaanya, tetapi saling berkesinambungan, Lapsem 2025 menjadi sarana evaluasi pelaksanaan APBN yang sedang berjalan, sedangkan pembicaraan pendahuluan menjadi bahan RAPBN 2026. Outlook dan realisasi APBN 2025 nantinya bisa menjadi acuan dalam menentukan postur APBN 2026. Siklus APBN ini memastikan pembangunan nasional tetap berkesinambungan setiap tahunnya.
Dalam bahan paparan Lapsem 2025 yang dipaparkan oleh Pemerintah disebutkan bahwa, outlook pertumbuhan ekonomi ditetapkan di kisaran 4,7%—5,0. Angka ini turun dari target APBN 2025 sebesar 5,2%. Koreksi dilakukan setelah melihat realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya 4,87%, serta proyeksi semester II yang berkisar antara 4,7%—5,0%.
Selaras dengan laporan Bank Dunia dan IMF, kedua lembaga keuangan internasional tersebut memproyeksikan terjadi perlambatan ekonomi di sebagian besar negara dibandingkan tahun lalu. Bahkan Indonesia sendiri, diprediksi hanya akan tumbuh sebesar 4,70%, lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yang mencapai 5,10% dan realisasi pertumbuhan pada tahun 2024 sebesar 5,02%.
Sikap optimis ditunjukkan oleh Bappenas dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026, lembaga perencana tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai 5,20%. Sikap hati hati ditunjukkan oleh Bank Indonesia (BI). Bank Sentral memprediksi Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II 2025 berada dalam kisaran 4,6%—5,4%.
Hasil penelitian LPEM FEB-UI Indonesia dalam laporan Economic Outlook Q2-2025, makin mengkonfirmasi kondisi ekonomi Indonesia tengah melambat, belum menunjukkan adanya pemulihan produktivitas secara signifikan. Oleh sebab itu, PDB Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,94% (YoY) di triwulan I/2025 (kisaran estimasi dari 4,93%—4,95%) dan 4,95% (YoY) untuk FY2025 (kisaran estimasi dari 4,9%—5,0%).
Baca Juga
Proyeksi Ekonomi 2026
Realisasi pelaksanaan Semester I dan Outlook Semester II 2025 bisa menjadi acuan yang kuat dalam melihat kondisi ekonomi tahun 2026. Belum ada satu analisa yang memprediksi kondisi ekonomi global dan geopolitik Internasional akan berangsur pulih. Justru sebaliknya, perang yang meluas berpotensi menyebabkan terjadinya pembelahan kekuatan ekonomi secara global dan terganggunya rantai pasok yang akan berdampak secara massif terhadap perekonomian di seluruh dunia.
Tahun 2026 merupakan tahun kedua pelaksanaan RPJMN Tahun 2025—2029. Periode ini menjadi sangat strategis untuk memastikan semua program strategis pemerintah yang sudah dicanangkan dapat terlaksana dengan baik dan sudah mulai memberikan multiplier effect terhadap pembangunan. Narasi Pemerintah yang membangun optimisme tetap harus diiringi kebijakan yang realistis, tepat sasaran dan memiliki efek ungkit yang signifikan.
Sikap optimis terhadap target pertumbuhan ekonomi disampaikan oleh Pemerintah pada KEM-PPKF RAPBN 2026 sebesar 5,20%—5,80%. Bisa dipahami, bahwa target pertumbuhan ekonomi yang tinggi penting untuk menjawab persoalan pengangguran dan kemiskinan, serta mendongkrak penerimaan perpajakan. Pertumbuhan ekonomi juga dapat memberikan multiplier effect bagi masyarakat.
Setali tiga uang, Bappenas juga membuat perkiraan yang jauh lebih optmis bahkan cenderung over optmis. Perekonomian Indonesia 2026 ditargetkan mengalami percepatan pertumbuhan menjadi 5,80%—6,30%. BI cenderung lebih hati-hati membuat perkiraan pertumbuhan ekonomi 2026 pada kisaran 4,70%—5,50%. Perlambatan ekonomi dunia, khususnya di negara mitra dagang utama seperti AS dan China, berdampak pada kinerja ekspor nasional.
Sementara itu, dampak dari ketidakpastian global dan kondisi geopolitik di beberapa kawasan yang masih memanas, membuat IMF dan World Bank memperkirakan perekonomian 2026 stagnan bahkan cenderung turun. IMF pada tahun depan hanya memprediksi pertumbuhan ekonomi global hanya 3% dan World Bank atau Bank Dunia hanya 2,3% atau lebih rendah dari kinerja tahun 2024. Kondisi perekonomian global tahun 2026 masih sangat sulit
Melihat gambaran pertumbuhan ekonomi 2026 yang sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal. Prediksi yang dilakukan oleh BI dan lembaga ekonomi dalam negeri, maupun oleh lembaga Internasional sekelas IMF dan World Bank dapat menjadi acuan. Sudah seharusnya Pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan pertumbuhan ekonomi dan asumsi makro dalam APBN 2026. Jangan sampai terjebak dengan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sementara mesin ekonomi tidak mampu untuk bergerak lebih jauh.
Pemerintah sendiri juga perlu mempertimbangkan mengambil langkah kebijakan yang bersifat countercyclical untuk meredam dampak fluktuasi ekonomi. Mendorong belanja pemerintah lebih produktif dan memberikan stimulus yang tepat sasaran baik bagi kalangan miskin, rentan terutama untuk kelas menengah.
Langkah kebijakan memberikan stimulus fiskal untuk sektor transportasi, bantuan sosial, subsidi upah, insentif jalan tol, dan tambahan bantuan pangan beras. Instentif sektor transportasi dan tarif tol menyasar kelompok kelas menengah sehingga mobilitasnya lebih tinggi pada masa libur sekolah. Sedangkan bantuan sosial, subsidi upah, dan bantuan pangan lebih terfokus pada kelompok rentan dan miskin sehingga bisa bertahan di tengah pelemahan ekonomi nasional.
Begitu pula dari sisi moneter, kebijakan yang bersifat ekspansif melalui relaksasi suku bunga acuan, BI rate. Kebijakan ini dilakukan untuk menurunkan suku bunga kredit yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan permintaan kredit, baik untuk investasi maupun konsumsi. Kebijakan moneter ekspansif BI sejalan dengan kecenderungan inflasi yang cukup rendah.
Pemerintah dan BI harus menyadari bahwa, untuk saat ini countercyclical policy fiskal dan moneter belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, lebih cenderung untuk menahan laju perlambatan ekonomi nasional, sehingga pertumbuhan tetap terjaga pada kisaran 5,0%.