Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti bengkaknya biaya logistik hingga premi asuransi, imbas ketegangan geopolitik yang terjadi di kawasan Timur Tengah antara Iran—Israel.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho mengkhawatirkan konflik Iran—Israel bisa memicu biaya logistik dan premi asuransi menjadi lebih mahal dari biasanya.
“Perlu kita ingat bahwa harga atau ongkos logistik itu juga semakin meningkat, biaya asuransi juga semakin meningkat, sehingga biaya transportasi secara keseluruhan untuk distribusi barang atau arus barang ini juga pasti akan semakin mahal,” kata Andry kepada Bisnis, dikutip pada Sabtu (28/6/2025).
Selain itu, dia juga mengkhawatirkan peningkatan biaya logistik yang sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia bakal menggerus pendapatan perdagangan Indonesia.
Di sisi lain, konflik ini juga dapat berpengaruh pada kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara yang merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia.
Kenaikan harga batu bara dan CPO diharapkan sejalan dengan peningkatan devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA). Dengan begitu, penerimaan negara diharapkan akan terkerek dari CPO dan batu bara.
Baca Juga
“Tapi perlu diingat bahwa hal tersebut tidak long lasting, artinya kita tidak bisa mengandalkan harga komoditas atau kenaikan dari harga komoditas saja,” terangnya.
Untuk itu, menurut Andry, pemerintah perlu mendorong keberlanjutan perdagangan darj dua komoditas ini, terutama melalui hiliriasasi. Sebab, ungkap dia, menjual komoditas mentah tidak akan membawa keberlanjutan dibandingkan produk jadi.
Dalam kesempatan yang berbeda, ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin sebelumnya memproyeksi komoditas batu bara dan CPO akan mengalami defisit perdagangan di tengah ketegangan geopolitik Iran—Israel.
“Keduanya [batu bara dan CPO] merupakan ekspor terbesar kita. Pasti trade deficit akan makin lebar dan current account makin mengaga,” ujar Wijayanto kepada Bisnis.
Defisit itu diperkirakan terjadi mengingat Indonesia sangat bergantung pada ekspor batu bara dan CPO. Apalagi, Wijayanto mengungkap ekspor batu bara dan CPO mewakili sekitar 20–25% total ekspor Indonesia.
Menurutnya, pemerintah perlu bersiap mencari pasar baru, mendiversifikasi usaha, melakukan efisiensi operasional, dan menghindari keputusan-keputusan yang berisiko seperti utang berlebih. Serta, mendorong energi baru terbarukan (EBT) untuk menekan impor energi.
Pemerintah, lanjut dia, juga perlu mempercepat hilirisasi yang berpegang pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) untuk mendongkrak nilai tambah ekonomi.
"Lalu, mendorong percepatan industrialisasi dengan memperbaiki iklim investasi agar kita tidak terjebak sebagai eksportir komoditas yang rentan terhadap siklus komoditas global," tambahnya.
Menurutnya, ketegangan geopolitik di Timur Tengah akan mendorong banyak negara memperkuat kemandirian energi dan pangan.
“Jika perang terus berkecamuk, pertumbuhan ekonomi dunia melambat, akhirnya demand terhadap komoditas juga ikut melambat walaupun taraf perlambatan demand masing-masing komoditas berbeda, tergantung elastisitas permintaan,” pungkasnya.