Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik menegaskan bahwa angka kemiskinan yang turun pada Maret 2025 tidak dapat dikaitkan dengan fenomena 'rojali' yang melekat di banyak warga Indonesia saat ini.
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Ateng Hartono mengungkapkan bahwa pada dasarnya masyarakat yang masuk dalam kategori rombongan jarang beli alias rojali memang berdampak pada daya beli.
Terbukti dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 yang menunjukkan bahwa masyarakat kelompok atas menahan konsumsinya. Namun, Ateng menegaskan bahwa hal tersebut tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena itu hanya di kelompok atas saja.
"Fenomena Rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," jelasnya dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).
Ateng menjelaskan, bahwa fenomena rojali menunjukkan gejala sosial akibat tekanan ekonomi, terutama di kelas yang rentan. Alhasil, masyarakat yang pergi ke pusat perbelanjaan hanya sebagai rojali.
“Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah,” tuturnya.
Baca Juga
Menurutnya, perlu data lebih lanjut untuk mengaitkannya kepada angka kemiskinan. Apakah fenomena rojali tersebut terjadi hanya pada kelas atas, menengah, atau bahkan bawah.
Pasalnya di tengah penurunan daya beli dan fenomena rojali, BPS mengumumkan angka penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang atau setara 8,47% dari total populasi per September 2024. Dalam catatan BPS, persentase tersebut menjadi yang terendah dalam sejarah Indonesia.
Para ‘rombongan jarang beli’ ini ditengarai telah menyebabkan omset pusat perbelanjaan menurun. Di mana mengunjungi suatu tempat seperti pusat perbelanjaan, toko, hingga pasar tradisional, tetapi tidak banyak melakukan kegiatan belanja.
Istilah tersebut kembali merebak usai Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual mengungkap bahwa rojali banyak terlihat di pusat perbelanjaan atau mal. Lemahnya daya beli membuat mereka mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan dan tidak membeli apa-apa, jika berbelanja pun nilainya cenderung tidak terlalu besar.
Fenomena itu tidak muncul dari ruang hampa. David menilai bahwa lemahnya konsumsi kelas menengah, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap total konsumsi RI, berdampak terhadap perekonomian secara luas.
"Mal kelihatan ramai, tetap banyak mereka hanya makan saja, mencari diskon, atau kafe yang ada diskon. Ditambah lagi, saat ini sudah ada e-commerce," ujar David dalam Editors Briefing Bank Indonesia yang berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7/2025).