Bisnis.com, JAKARTA — Panen padi di Jepang terancam gagal imbas cuaca ekstrem yang melanda negara tersebut dan mengancam kelangkaan beras serta lonjakan harga. Sementara ketidakpuasan publik semakin meningkat akibat kenaikan biaya hidup.
Wilayah penghasil beras utama seperti Tohoku dan Hokuriku mengalami curah hujan terendah dalam catatan yang mencakup hampir 80 tahun pada Juli, sedangkan gelombang panas bulan ini telah memecahkan rekor suhu dan menghanguskan sebagian besar wilayah negara.
Profesor emeritus spesialis kebijakan pertanian di Universitas Miyagi Kazunuki Ohizumi menyampaikan bahwa cuaca ekstrem dapat mempengaruhi panen yang biasanya dimulai pada akhir musim panas.
Hal tersebut berisiko memperburuk harga beras yang sudah sekitar 50% lebih tinggi dari tahun lalu. Kondisi ini juga dapat menambah tekanan pada anggaran rumah tangga dan pemimpin politik.
Terlebih, pasokan beras di Jepang telah tertekan oleh cuaca buruk dalam beberapa tahun terakhir.
“Karena panas dan kekeringan, hampir pasti bahwa baik hasil panen maupun volume distribusi akan berkurang,” ujarnya, dikutip dari Bloomberg, pada Sabtu (9/8/2025).
Baca Juga
Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menyampaikan risiko tersebut dapat menyebar ke wilayah lain tergantung pada kondisi cuaca di masa mendatang. Volume produksi tahun ini akan diketahui setelah panen musim gugur, kata kementerian tersebut.
Kekurangan beras menyebabkan krisis nasional pada awal musim panas ini, karena harga yang menyentuh rekor tertinggi memaksa beberapa sekolah untuk mengurangi penyajian beras sebagai menu makan siang, serta toko dan restoran menaikkan harga hidangan beras.
Kekurangan ini dapat ditelusuri kembali ke musim panas yang sangat panas pada 2023 yang menghasilkan hasil panen terendah dalam lebih dari satu dekade.
Panen yang buruk lagi dapat memicu kritik lebih lanjut terhadap Partai Liberal Demokratik yang berkuasa, yang mengalami kekalahan historis dalam pemilihan majelis tinggi pada Juli, sebagian karena krisis beras.
Lebih lanjut Ohizumi menyampaikan bahwa jika tidak ada dampak dari panas dan kekeringan, produksi beras di Jepang tahun ini diperkirakan meningkat sekitar 8% menjadi 7,35 juta ton metrik karena luas lahan tanam diperkirakan akan bertambah. Namun, cuaca ekstrem telah meningkatkan ketidakpastian tentang hasil panen, sehingga sulit untuk memprediksi produksi.
Beberapa pihak percaya bahwa upaya untuk meningkatkan penanaman dapat mengimbangi dampak cuaca ekstrem. Profesor dari Universitas Utsunomiya Masayuki Ogawa mengatakan dia memperkirakan produksi beras akan meningkat karena luas lahan tanam yang diperluas.
Departemen Pertanian AS, yang membuat perkiraan panen global, saat ini memperkirakan produksi beras Jepang pada 2025 sebesar 7,28 juta ton. Meskipun angka ini hampir sama dengan tahun sebelumnya, data menunjukkan ini akan menjadi panen terkecil sejak 2003.
Ogawa dari Universitas Utsunomiya menyampaikan harga ditentukan sebagian besar berdasarkan kontrak awal. Namun, dengan prospek pasokan dan permintaan yang tidak pasti, harga kemungkinan akan naik pada akhirnya.
Situasi di Jepang kontras dengan pasokan yang membaik dan harga yang turun di sebagian besar dunia berkat cuaca yang menguntungkan dan panen yang baik di negara-negara produsen utama seperti India.
Harga beras acuan Asia telah turun ke level terendah dalam hampir delapan tahun, menandakan kelegaan lebih lanjut bagi miliaran orang yang mengonsumsi beras setiap hari.
Jepang menerapkan kontrol ketat atas impor beras untuk melindungi industri dalam negerinya. Hanya 770.000 ton beras bebas bea yang diimpor setiap tahun, sedangkan impor di luar kuota tersebut dikenakan bea masuk sebesar ¥341 (US$2,30) per kilogram.
Meskipun harga beras di supermarket telah turun dari puncaknya untuk saat ini, pemerintah sedang berusaha mencari solusi jangka panjang—tidak hanya untuk peristiwa cuaca terbaru, tetapi juga untuk perubahan iklim yang mengancam gangguan jangka panjang pada industri beras yang menjadi kebanggaan negara.
Dalam perubahan dari kebijakan yang telah berlaku puluhan tahun, Perdana Menteri Shigeru Ishiba bulan ini mendorong petani untuk mengabaikan batas produksi beras dan meningkatkan penanaman. Pemerintah telah membentuk tim tugas dan mengerahkan truk air untuk membantu irigasi tanaman.
Negara ini juga kini menanam beras di daerah yang dulu dianggap terlalu dingin untuk budidaya. Pulau Hokkaido di utara telah menjadi wilayah produsen terbesar kedua setiap tahun sejak 2018, dan memiliki produksi per unit area yang lebih tinggi daripada produsen utama, Prefektur Niigata.