Bisnis.com, JAKARTA — Perekonomian Thailand tumbuh lebih cepat dari perkiraan pada kuartal II/2025 seiring dengan kenaikan ekspor menjelang pemberlakuan tarif impor lebih tinggi oleh Amerika Serikat. Kinerja tersebut mampu mengimbangi perlambatan sektor pariwisata dan lemahnya permintaan domestik.
Berdasarkan data National Economic and Social Development Council (NESDC) pada Senin (18/8/2025), produk domestik bruto (PDB) Thailand pada periode April–Juni naik 2,8% secara year on year (YoY). Angka itu melampaui proyeksi median survei Bloomberg sebesar 2,7%, meski lebih rendah dari pertumbuhan 3,2% pada kuartal sebelumnya.
Secara kuartalan, PDB tumbuh 0,6%, sedikit di atas perkiraan 0,5%. Sementara itu, sepanjang paruh pertama 2025, ekonomi Thailand tercatat tumbuh 3%. Pemerintah pun merevisi proyeksi pertumbuhan 2025 menjadi 1,8%–2,3% dari perkiraan awal 1,3%–2,3%.
Seperti sejumlah negara Asia lainnya, Thailand diuntungkan oleh percepatan ekspor sebelum kebijakan tarif baru Presiden AS Donald Trump berlaku. Nilai tukar baht tercatat stabil di level 32,44 per dolar AS usai rilis data.
“Ekspor barang terus mencatatkan pertumbuhan positif, sementara investasi swasta kembali meningkat. Namun, konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, investasi publik, dan ekspor jasa justru melambat,” tulis NESDC dalam pernyataan resminya dikutip dari Bloomberg.
Meski demikian, prospek ekonomi Negeri Gajah Putih masih dibayangi tantangan. Tarif impor baru sebesar 19% yang dikenakan AS—pasar ekspor terbesar Thailand—diperkirakan akan menekan kinerja ekspor dalam jangka panjang.
Baca Juga
Sektor pariwisata juga terus melemah, diperparah oleh ketidakpastian politik domestik setelah perdana menteri diskors dari jabatannya, serta ketegangan perbatasan berdarah dengan Kamboja.
Bank of Thailand pekan lalu memangkas suku bunga acuan untuk keempat kalinya sejak Oktober 2024 guna menopang ekonomi yang rapuh.
Sementara itu, asosiasi bisnis terbesar Thailand pada awal bulan ini menaikkan perkiraan pertumbuhan 2025 menjadi 1,8%–2,2% setelah tarif baru AS diputuskan sebesar 19%, lebih rendah dari ancaman awal 36%.
Namun, kelompok usaha tersebut tetap mengingatkan bahwa persaingan harga ketat, penguatan baht, serta pelemahan pariwisata dapat membebani perekonomian pada paruh kedua tahun ini.