Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menyoroti nasib keberlangsungan dunia usaha, khususnya industri minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), setelah rencana pemerintah untuk mengenakan cukai terhadap produk tersebut muncul kembali.
Kebijakan yang telah lama direncanakan sejak 2020 lalu ini dinilai berpotensi menambah penerimaan negara. Namun, efektivitasnya dalam mengendalikan konsumsi serta dampaknya terhadap industri masih dipertanyakan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal mengatakan bahwa fungsi utama cukai seharusnya adalah sebagai instrumen pengendalian konsumsi barang yang menimbulkan eksternalitas negatif, bukan semata sumber pendapatan negara.
“Fungsi cukai itu kan yang utamanya adalah untuk pengendalian barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negatif daripada, fungsinya lebih kepada itu daripada menjadi sumber penerimaan negaranya,” kata Faisal kepada Bisnis, Kamis (21/8/2024).
Dia mencontohkan penerapan cukai rokok yang selama ini memang meningkatkan pendapatan negara. Namun, tidak efektif dalam menekan konsumsi karena perilaku perokok cenderung tidak elastis.
Pengenaan cukai rokok saja, selama ini dinilai tak secara otomatis menurunkan tingkat prevalensi konsumsi rokok.
Baca Juga
“Dengan berkaca pada cukai yang diterapkan pada rokok selama ini, menurut saya, cukai itu memang berpotensi jadi bisa menambah penerimaan negara, tapi di sisi yang lain menekan dari sisi industri,” jelasnya.
Menurutnya, pola yang sama bisa terjadi pada MBDK. Meski pendapatan negara bisa bertambah, industri berisiko melemah karena konsumen justru beralih ke minuman lain yang juga menggunakan gula, baik dalam kemasan maupun racikan sendiri.
“Jadi, cukainya catatannya dia memang bisa meningkatkan penerimaan negara tapi menekan industri dan tidak mencapai tujuan untuk pengendalian, dampaknya memang bisa meningkatkan pendapatan negara dari cukai MBDK tapi industrinya akan turun dari sisi competitiveness-nya dan juga kinerjanya,” jelasnya.
Dia pun mewanti-wanti implementasi kebijakan tersebut agar tidak menekan industri yang saat ini dalam kondisi tak baik-baik saja.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai kebijakan ini penting untuk memperluas basis penerimaan negara melalui ekstensifikasi cukai. Dia menekankan bahwa beban cukai seharusnya tidak hanya dikenakan pada MBDK, tetapi juga minuman manis lainnya di luar kemasan.
“Menurut saya, penting ya untuk melakukan ekstensifikasi cukai. Bagi saya MBDK itu tidak hanya atau minuman berpemanis ya dalam hal ini itu tidak hanya di MBDK saja, tetapi juga yang di luar kemasan juga,” ungkap Andry, dihubungi terpisah.
Andry menambahkan, penerapan cukai justru dapat mendorong industri mengurangi kadar gula dalam produknya, sekaligus menghadirkan pilihan minuman yang lebih sehat bagi konsumen.
“Ya beberapa minuman-minuman yang dihasilkan seperti minuman apa, instan ya, yang di luar minimarket itu juga harus dikenakan juga gitu terkait dengan cukai ini. Karena itu membuat rasa keadilan ya bagi industri MBDK dan juga industri yang dalam hal ini juga menghasilkan minuman yang manis,” imbuhnya.
Dia menilai ekstensifikasi cukai MBDK juga bisa menjadi alternatif sumber penerimaan baru, terutama saat penerimaan dari cukai rokok cenderung stagnan bahkan mulai menurun.
Tak dipungkiri, industri minuman ringan harus bersiap untuk menghadapi risiko kenaikan ongkos produksi. Untuk membuat produk yang dijual tidak mengalami kenaikan harga, maka produsen harus mengatur ulang formula kadar gula yang terkandung dalam produk.
“Pada akhirnya kalau industri tidak mau harganya menjadi mahal, ya tentu saja mereka harus mengurangi kadar gula yang ada di dalam minuman tersebut dan dalam hal ini alternatif produk-produk yang baik bagi kesehatan itu akan muncul,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Asosiasi Industri Minuman Ringan alias Asrim menyatakan belum siap dengan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan alias MBDK pada 2026, seperti yang ditetapkan dalam RAPBN 2026.
Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo mengaku tidak kaget dengan rencana implementasi cukai MBDK dalam RAPBN 2026. Menurutnya, rencana tersebut sudah masuk ke dalam APBN beberapa tahun terakhir meski tak kunjung terealisasi.
Hanya saja, Triyono berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi dan dampak penerapan cukai MBDK ke industri. Dia berpendapat, cukai MBDK hanya akan menambah beban bagi industri yang ujungnya akan menjadi beban bagi konsumen/masyarakat.
Cukai MBDK, sambungnya, akan mengakibatkan kenaikan harga produk yang akan berdampak pada penurunan penjualan. Apalagi, Asrim mencatat kinerja industri minuman siap saji dalam kemasan masih dalam tekanan besar.
"Pertumbuhan sejak 2023 terus menurun. Pada 2023 pertumbuhan di kisaran 3,1%, kemudian menurun ke 1,2% di 2024. Bahkan kuartal I/2025, terus turun menjadi -1,3%. Ini perlu menjadi perhatian kita semua termasuk pemerintah," kata Triyono kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025).