Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Risalah Rapat FOMC: Risiko Inflasi Jadi Sorotan, Tarif Trump Bikin Waswas

Risalah FOMC menyoroti risiko inflasi lebih besar dari pasar tenaga kerja, dengan tarif Trump memicu kekhawatiran inflasi jangka panjang.
Suasana di depan dedung Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat. Reuters/Joshua Roberts
Suasana di depan dedung Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat. Reuters/Joshua Roberts
Ringkasan Berita
  • Mayoritas pejabat The Fed menilai risiko inflasi lebih besar dibandingkan risiko pelemahan pasar tenaga kerja, meskipun ada kekhawatiran terhadap pertumbuhan lapangan kerja yang melambat.
  • Risalah FOMC mengungkap perdebatan mengenai dampak tarif terhadap inflasi, dengan beberapa pejabat khawatir inflasi jangka panjang bisa lepas kendali jika tarif tinggi bertahan lama.
  • Data ekonomi terbaru menunjukkan pelemahan pasar tenaga kerja dengan revisi tajam ke bawah pada pertumbuhan payroll dan peningkatan tingkat pengangguran menjadi 4,2%.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA – Sebagian besar pejabat Federal Reserve (The Fed) menilai risiko inflasi lebih besar ketimbang kekhawatiran terhadap pasar tenaga kerja dalam pertemuan bulan lalu, di tengah meningkatnya perbedaan pandangan akibat dampak tarif dalam komite penentu suku bunga bank sentral AS tersebut.

Risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada 29–30 Juli 2025 yang dikutip Bloomberg pada Kamis (21/8/2025) mencatat, mayoritas dari 18 pembuat kebijakan menilai risiko kenaikan inflasi lebih besar dibandingkan risiko pelemahan pasar tenaga kerja. Meski begitu, mereka juga mengakui adanya kekhawatiran atas meredanya pertumbuhan lapangan kerja.

Beberapa pejabat menilai risiko terhadap mandat ganda (inflasi dan tenaga kerja) relatif seimbang, sementara segelintir lainnya lebih khawatir pada pelemahan pasar kerja. Risalah tersebut tidak menyebut nama, namun Gubernur Christopher Waller dan Michelle Bowman diketahui menentang keputusan tersebut dengan alasan memburuknya kondisi ketenagakerjaan.

Anggota komite juga memperdebatkan apakah tarif hanya memicu kenaikan harga sekali saja atau berpotensi menciptakan guncangan inflasi yang lebih panjang. 

“Beberapa peserta menekankan bahwa inflasi telah berada di atas 2% dalam periode cukup lama, sehingga pengalaman ini meningkatkan risiko ekspektasi inflasi jangka panjang bisa lepas kendali jika efek tarif yang lebih tinggi berlangsung lama,” demikian kutipan risalah tersebut.

Selain itu, banyak pejabat mencatat bahwa butuh waktu sebelum dampak penuh tarif benar-benar terasa pada harga barang dan jasa konsumen.

Risalah tersebut dirilis dua hari menjelang pidato Powell di simposium tahunan Jackson Hole, Wyoming, yang kerap menjadi panggung penting untuk memberi sinyal arah kebijakan suku bunga.

Pada pertemuan tersebut, The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% dengan alasan ketidakpastian yang masih tinggi, seiring moderasi aktivitas ekonomi pada paruh pertama tahun ini. Pernyataan resmi saat itu menggambarkan pasar tenaga kerja sebagai “solid”, sementara inflasi tetap “cukup tinggi”.

Ketua The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers usai rapat menegaskan dampak inflasi akibat tarif bisa bersifat sementara, tetapi bank sentral harus tetap waspada terhadap risiko berlanjutnya tekanan harga.

Data ekonomi terbaru menunjukkan pandangan hati-hati The Fed soal inflasi, namun sekaligus melemahkan keyakinan terhadap pasar tenaga kerja. 

Lonjakan inflasi produsen terbesar dalam tiga tahun terakhir mengindikasikan perusahaan mulai menaikkan harga untuk mengimbangi biaya input yang meningkat. Sejumlah pejabat The Fed khawatir tarif akan memengaruhi harga hingga tahun depan.

Pasar Tenaga Kerja Melemah

Revisi tajam ke bawah pada data pertumbuhan payroll selama Mei–Juli mengungkap pelemahan di pasar kerja. Perekrutan karyawan melambat ke level terendah sejak pandemi, sementara tingkat pengangguran naik menjadi 4,2%.

The Fed masih akan menunggu laporan ketenagakerjaan terbaru serta data inflasi tambahan sebelum rapat pertengahan September mendatang.

Risalah juga dirilis setelah Presiden AS Donald Trump menyerukan pengunduran diri Gubernur The Fed Lisa Cook, menyusul tuduhan penipuan KPR yang dilayangkan seorang pejabat pemerintah.

Trump berulang kali mendesak The Fed menurunkan suku bunga, sejalan dengan pernyataan sejumlah pejabat tinggi pemerintah dan kandidat calon pengganti Powell yang masa jabatannya berakhir pada Mei 2026. Menteri Keuangan Scott Bessent bahkan mendorong pemangkasan setengah poin pada September.

Selain inflasi dan tenaga kerja, risalah FOMC juga mengungkap diskusi pejabat terkait stabilitas keuangan, dengan beberapa di antaranya menyoroti kekhawatiran atas tekanan valuasi aset yang semakin tinggi.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro