Kepala BPS: Pekerja Formal dan Berpendidikan Tinggi Dominasi Sektor Energi dan Migas

Pekerja sektor energi dan migas Indonesia didominasi lulusan pendidikan tinggi, dengan 85% pekerja formal. Data ini penting untuk kebijakan ketenagakerjaan.
Karyawan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Balikpapan mengawasi operasional Kilang (RU 5) Balikpapan, Rabu (13/8/2025)./Bisnis-David E. Issetiabudi
Karyawan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Balikpapan mengawasi operasional Kilang (RU 5) Balikpapan, Rabu (13/8/2025)./Bisnis-David E. Issetiabudi
Ringkasan Berita
  • Sektor energi dan migas di Indonesia didominasi oleh pekerja formal, dengan lebih dari 85% pekerja di kedua sektor tersebut memiliki status formal.
  • Pekerja di sektor migas dan energi sebagian besar memiliki pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi, menunjukkan kebutuhan akan tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi.
  • Temuan BPS ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan vokasi untuk mendukung transformasi energi dan pengembangan sektor migas yang berkelanjutan.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, Jakarta — Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) RI, Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan, struktur ketenagakerjaan sektor energi serta minyak dan gas (migas) Indonesia berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025. Ia menyoroti dominasi pekerja formal dan berpendidikan tinggi di dua sektor strategis tersebut.

“Pekerja formal mendominasi sektor migas dan energi, mencapai lebih dari 85 persen. Sementara sektor lain masih didominasi pekerja informal,” ujar Amalia dalam PYC International Energy Conference 2025 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8/2025).

Berdasarkan data BPS, lanjut Amalia, sebanyak 90,73% pekerja di sektor minyak dan gas merupakan pekerja formal, hanya 9,27% yang informal.

"Di sektor energi, 85,20% adalah pekerja formal, dan 14,80% informal," tambah Amalia.

Sebaliknya, masih kata Amalia, sektor lainnya mencatat dominasi 59,53% pekerja informal dan hanya 40,47% yang bekerja di sektor formal.

Amalia juga menyoroti tingkat pendidikan pekerja di sektor-sektor tersebut. Ia menjelaskan bahwa pekerja sektor migas dan energi didominasi oleh mereka yang memiliki pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi.

Ia merinci: di sektor migas, 43,13% pekerja adalah lulusan SMA, 18,25% lulusan SMK, dan 25,75% lulusan perguruan tinggi.

Di sektor energi, 32,02% lulusan SMK, dan 26,35% lulusan perguruan tinggi, sementara 31,72% dari SMA.

Sebaliknya, sektor lainnya masih didominasi lulusan SMA (35,98%) dan pendidikan dasar.

“Ini menegaskan bahwa sektor-sektor strategis seperti energi dan migas membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi dibanding sektor lain,” jelas Amalia.

Ia menambahkan, temuan ini penting sebagai dasar dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan, pendidikan vokasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar selaras dengan kebutuhan industri masa depan.

“Peningkatan kompetensi, khususnya pada pendidikan vokasi dan teknis, menjadi krusial dalam mendukung transformasi energi dan pengembangan sektor migas yang berkelanjutan,” tuturnya.

BPS, kata Amalia, mengharapkan temuan ini dapat menjadi acuan bagi para pemangku kebijakan, dunia usaha, dan lembaga pendidikan dalam memperkuat sinergi antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

Amalia menegaskan bahwa Sakernas menjadi sumber utama statistik ketenagakerjaan di Indonesia yang telah disusun dan dilaksanakan sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan oleh International Labour Organization (ILO).

"Sakernas sendiri telah dilaksanakan secara sistematis oleh BPS sejak tahun 1986 dan menjadi instrumen utama dalam memantau dinamika pasar tenaga kerja nasional," sambung Amalia.

Masih dijelaskan Amalia, Sakernas didesain dan diimplementasikan mengacu pada standar internasional ILO, sehingga menjamin kualitas, akurasi, dan relevansi data yang dikumpulkan.

"Sakernas dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Februari dan Agustus. Survei Februari mencakup 76.800 rumah tangga, sementara survei Agustus menjangkau lebih luas hingga 302.860 rumah tangga di seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan demi memastikan keterwakilan dan kelengkapan data yang diperoleh," demikian Amalia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto