Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Ekspor Biodiesel & Sawit saat Pasar Eropa Makin Terbuka

Indonesia fokus pada swasembada energi dengan biodiesel B40, meski ekspor ke Eropa menggoda. WTO mendukung, namun produksi lokal tetap prioritas.
Biodiesel B40/Kementerian ESDM
Biodiesel B40/Kementerian ESDM
Ringkasan Berita
  • Indonesia tetap fokus pada pemenuhan kebutuhan domestik biodiesel B40 meskipun ada peluang ekspor ke Uni Eropa setelah kemenangan di WTO.
  • Ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa mengalami fluktuasi signifikan dalam dekade terakhir, dengan volume terendah tercatat pada 2024.
  • Keseimbangan antara penggunaan CPO untuk swasembada energi dan ekspor menjadi perhatian utama, dengan dukungan pemerintah diperlukan untuk keberlanjutan program biodiesel.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Terbukanya kembali peluang ekspor biodiesel ke Uni Eropa tak membuat goyah komitmen produsen lokal untuk memasok program mandatory B40 hingga B50 mendatang. Padahal, Eropa juga menjadi tujuan pasar ekspor yang sangat menggoda.

Akses ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa tanpa tarif tambahan ini seiring dengan putusan World Trade Organization (WTO) yang memenangkan Indonesia terkait sengketa countervailing duties atau pengenaan bea masuk imbalan oleh Eropa.

Dalam 1 dekade terakhir, ekspor biodiesel ke Eropa mengalami pasang surut dengan volume signifikan. Catatan dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), rata-rata pangsa pasar biodiesel di Eropa yakni 40% dari total ekspor Indonesia.

Secara volume, merujuk data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), ekspor biodiesel ke Eropa pada 2024 tercatat sebesar 27.407 kiloliter (kl) atau terendah dalam 1 dekade terakhir.

Adapun, pada 2015, ekspor biodiesel ke Eropa mencapai 32.183 kl, naik menjadi 49.425 kl setahun berikutnya. Pada 2017, ekspor melesat hingga 179.301 kl dan rekor tertinggi tercatat pada 2018 yang mencapai 939.582 kl.

Namun, sejak 2018, ekspor biodiesel ke Eropa terus mengalami penurunan karena dimulainya penyelidikan untuk penerapan bea masuk imbalan. Pada 2019, turun menjadi 596.189 kl dan merosot hingga 30.291 kl pada 2020.

Pada 2021, ekspor biodiesel sempat kembali naik menjadi 37.320 kl dan naik ke level 82.728 kl pada 2020. Namun, tren penurunan kembali terjadi pada 2023 yang hanya mencapai 40.484 kl.

Wakil Ketua Aprobi Catra de Thouars mengatakan, dengan adanya putusan WTO yang memenangkan Indonesia atas sengketa biodiesel dengan Eropa, maka potensi perluasan ekspor ke wilayah tersebut kembali terbuka lebar dengan harga yang lebih bersaing.

Kendati demikian, pihaknya tetap berkomitmen untuk memastikan program mandatory campuran solar dan bahan bakar nabati (BBN) 40% atau biodiesel B40 berjalan optimal tahun ini.

"Kami pastinya akan fokus dalam pemenuhan dalam negeri terlebih dulu dengan kapasitas kita saat ini di B40," ujar Catra kepada Bisnis, dikutip Rabu (27/8/2025).

Indonesia disebut memiliki kapasitas produksi biodiesel yang terpasang sebesar 19,96 juta kl per tahun. Sebanyak 90%-95% digunakan untuk program mandatory B40 dan sisanya ekspor.

Catra menuturkan, jika kebutuhan sudah mampu terpenuhi dengan optimal dan masih tersisa pasokan maka baru akan dieskpor. Namun, Aprobi juga perlu memastikan pabrik berjalan optimal agar produksi tetap terjaga.

"Namun, kami sangat antusias dengan terbukanya pasar baru untuk Indonesia, di mana Uni Eropa juga merupakan pasar yang penting untuk industri sawit dalam upaya menopang devisa," jelasnya.

Di sisi lain, pihaknya menilai keputusan dari WTO untuk mendukung Indonesia di dalam tuduhan countervailing duties (cvd) biodiesel merupakan berita dan langkah positif agar Indonesia mendapatkan keadilan terkait perdagangan internasional.

Pasalnya, dia melihat saat ini ada banyak tudingan dan tekanan dari pihak luar lewat black campaign atas berbagai produk sawit RI. Kendati demikian, putusan WTO bukan segalanya, langkah Eropa untuk menjegal produk sawit dan turunannya masih harus diwaspadai.

"Perjuangan kita di industri sawit juga masih banyak dengan adanya EUDR dan sebagainya. Namun, dukungan dari WTO ini bisa menjadi momentum positif untuk industri sawit melakukan positive campaign dan menambah semangat, bahwa sedikit demi sedikit kita bisa memperjuangkan keadilan untuk industri kita," tuturnya.

Sementara itu, Catra menyebut, pihaknya masih dihadapkan tantangan serius dalam menopang program mandatory B40 dan rencana penerapan B50. Aprobi membutuhkan dukungan dari sisi pasokan bahan baku minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) untuk dapat tersedia.

"Dan paling penting kami butuh dukungan dari pemerintah dalam kepastian berusaha kami agar bisa menarik investasi pembangunan pabrik biodiesel dan juga pabrik yang beroperasi bisa bekerja dengan maksimal. Untuk penyaluran domestik seperti program B40 dan seterusnya maupun untuk ekspor," pungkasnya.

Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung juga sependapat bahwa biodiesel lokal mesti dioptimalkan untuk swasembada energi nasional. Namun, Tungkot menyarankan agar mandatory biodiesel dibuat lebih fleksibel. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa harga jual biodiesel ke pasar global lebih menarik di beberapa waktu tertentu.

"Jadi, jika harga biodiesel dunia lebih menarik, diperbesar ekspor. Jika kurang menarik harga dunia, dipasarkan domestik," imbuhnya. 

Dia menilai, dari segi bisnis konsep tersebut bisa dibenarkan, kendati dari sisi pemerintahan akan ditentang karena harus berkomitmen untuk mengurangi konsumsi impor solar guna menekan emisi dan membangun ketahanan energi domestik. 

CPO untuk Biodiesel RI dan Ekspor Harus Seimbang

Putusan WTO dapat berdampak pada terbukanya kembali akses biodiesel Indonesia ke Eropa tanpa hambatan bea masuk tambahan. Tak hanya itu, secara luas ekspor produk sawit, termasuk CPO juga dapat makin bersaing di pasar internasional.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong keseimbangan antara kebutuhan CPO untuk swasembada energi nasional, tanpa membatasi pasokan untuk ekspor.

Pasalnya, program biodiesel yang ada terbantu dengan adanya pungutan ekspor CPO yang kemudian digunakan untuk mendanai insentif selisih harga solar dan biodiesel.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, ekspor komoditas tersebut tidak bisa menurun karena sumber pendapatan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) berasal dari hasil perdagangan ke luar negeri.

Sebagai catatan, rata-rata ekspor CPO Indonesia mencapai 26 juta ton per tahun. Pasar terbesar yakni India 5 juta ton, disusul China 3,8 juta ton, Pakistan 2,8 juta ton, dan Eropa 2,3 juta ton.

"Pasar domestik saat ini di B40 khususnya, tidak mengganggu ekspor dan masih terkendali dan dengan penggunaan pungutan ekspor CPO untuk insentif PSO B40," tuturnya kepada Bisnis, dihubungi terpisah.

Ke depannya, pemerintah juga tengah mengkaji penerapan B50 yang tengah diteliti lebih dalam oleh Ditjen EBTKE dan BPDP untuk memastikan keberlanjutan program ini. Kendati demikian, Eniya belum bisa memastikan terkait rencana implementasi tahun depan.

"Arahan menteri ESDM adalah melanjutkan program biodiesel, tanpa mengganggu ekosistem yang terbentuk saat ini," tuturnya.

Dalam hal ini, Eniya mengingatkan target produksi di hulu on-farm atau produksi pertanian yang perlu ditingkatkan sehingga dapat mengimbangi permintaan ekspor dan persiapan menuju B50.

Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Bisnis/Arief Hermawan P

Kesiapan Petani

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, dengan terbukanya akses pasar Eropa maka akan meningkatkan peluang pasar CPO global bagi Indonesia.

"Peluang penguasaan pasar minyak nabati sawit yang selama ini 58%-60% minyak nabati sawit global berasal dari Indonesia, akan semakin meningkat," jelasnya, saat dihubungi Bisnis, Selasa (26/8/2025).

Namun, pihaknya mengkhawatirkan produksi CPO nantinya sulit untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebab, produksi CPO tahun ini diproyeksi akan turun karena sejumlah alasan.

Pertama, tanaman sawit khususnya petani paling tidak sudah masuk masa replanting dan bibitnya tidak bagus (tidak hybrid) ada sekitar 3 juta hektare. Sementara yang berhasil ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting baru berkisar 340.000 hektare sejak program ini diluncurkan pada 2017.

"Lambatnya PSR ini karena dukungan regulasi terkait pasar negatif," imbuhnya.

Kedua, produksi terancam turun karena harga pupuk yang mahal dan langka sejak tahun lalu. Alhasil, efeknya disebut akan terasa pada 2025-2026.

Ketiga, kebun sawit yang disita ambil alih oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan diserahkan ke Agrinas. Jika tidak dirawat dengan baik sesuai GAP maka akan turut menyumbang anjloknya produksi CPO Indonesia 2025.

"Jadi sangat miris ketika pasar semakin terbuka, serapan domestik semakin meningkat terkhusus karena implementasi B50 tahun depan yang akan menyerap 16 juta -18 juta ton CPO, tidak diiringi dengan produksi yang meningkat malah saya prediksi turun di 2025 ini," pungkasnya.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) juga memproyeksi produksi CPO tumbuh stagnan 3% tahun ini. Total produksi minyak sawit relatif stagnan selama 5 tahun terakhir, yakni di kisaran 51,2 juta—54,8 juta ton.

Jika menengok periode 2024, produksinya hanya mencapai 52,76 juta ton. Perinciannya, sebanyak 4,59 juta ton produksi palm kernel oil (PKO), sedangkan 48,16 juta ton produksi CPO.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro