Bisnis.com, JAKARTA—Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat menyebabkan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) wait and see dalam menjalankan bisnisnya.
Padahal, ekspansi bisnis sangat diperlukan guna meningkatkan marjin untung dan menggenjot kinerja perusahaan farmasi pelat merah itu.
Direktur Keuangan Indofarma John Sebayang mengatakan pihaknya terpaksa melakukan langkah itu untuk menghindari kerugian lebih dalam akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Betapa tidak, perusahaan tersebut mencetak penurunan laba bersih yang tajam sebesar 251,4% sepanjang paruh pertama tahun ini menjadi rugi bersih Rp9,3 miliar.
“Indofarma harus menghitung ulang harga jual, kebutuhan produksi, dan target margin yang bisa dicapai,” katanya kepada Bisnis, Rabu (28/8/2013) malam.
Hal itu disebabkan kurs rupiah yang menjadi acuan Indofarma senilai Rp9.600—Rp9.800 per dollar AS. Akan tetapi, saat ini nilai tukar rupiah sudah melewati level Rp11.000 per dollar AS.
Menurut John, saat rupiah bertengger di posisi Rp10.500 per dollar AS, harga pokok produksi (HPP) perusahaan naik 3%-4%. “Kenaikan harga pokok produksi itu sekitar 60%-70% berasal dari bahan baku,” ujarnya.
Selain itu, Indofarma juga menunda rencana penerbitan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) tahap II 2013 dan pembangunan pabrik obat baru di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, seiring dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.