Bisnis.com, JAKARTA --Pemerintah dinilai telah memberatkan pengusaha terkait kebijakan renegosiasi kontra pertambangan.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai kebijakan renegosiasi terlalu memberatkan pengusaha karena kewajiban royalti, divestasi, penciutan lahan dan kewajiban peningkatan kandungan lokal, besarannya ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Ketua Working Group Kebijakan Pertambangan Perhapi dan Ketua Komite Kebijakan Nasional Mineral dan Batu Bara Budi Santosa mengatakan mandeg-nya renegosiasi kontrak di sektor pertambangan mineral dan batu bara karena mekanisme negosiasi yang belum disepakati masing-masing pihak yang terlibat.
“Masalahnya adalah kesepakatan yang diminta pemerintah dalam renegosiasi misalnya penciutan lahan, penaikan royalti, kewajiban divestasi sekian persen dan sebagainya bagi pengusaha terlalu memberatkan,” ungkap Budi, Selasa (20/5/2014).
Menurut Budi, Kontrak Karya (KK) maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) merupakan perjanjian antardua pihak yaitu pemerintah dan pelaku usaha pemiliki lisensi tersebut.
Artinya, perjanjian yang sudah disetujui tersebut dianggap sah secara undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Karena itu, ungkapnya, jika salah satu pihak, dalam hal ini pemerintah berencana mengubah seluruh atau sebagian poin yang ada dalam perjanjian tersebut, sudah seharusnya mendapat persetujuan dari pihak lain yang terlibat dalam hal ini pihak pengusaha.
Pemerintah harus memahami bahwa pengusaha sangat mungkin terikat komitmen bisnis dengan pihak lain seperti pembelian, penyediaan modal dan sebagainya. Sehingga sangat mungkin jika renegosiasi dipaksakan justru akan membunuh usaha tersebut.
“Perusahaan tentu ingin sustain atau terus berkembang, tentunya pelaku usaha terikat komitmen dengan beberapa pihak seperti bank, buyers dan sebagainya. Jadi tidak segampang itu untuk meminta renegosiasi,” ungkap Budi.
Sementara itu, President Director PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto kepada Bisnis mengatakan pihaknya menolak untuk melakukan divestasi saham perseroan sebanyak 51% seperti diamanatkan undang-undang minerba. Alasannya, nilai keekonomian perusahaan tidak akan dicapai.
“Kami tetap pada kesepakatan awal bersedia mendivestasi 20% saham perusahaan sesuai dengan kajian keekonomian yang kami lakukan,” jelasnya.
Namun, berkaitan dengan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) tembaga dan emas, Rozik menyebutkan perusahaan memiliki komitmen membangun pabrik tersebut sesuai peraturan perundang-undangan.
“Kami sudah berkomitmen akan membangun smelter di Indonesia. Rencananya bersama Antam, tetapi tidak menutup kemungkinan kerjasama dengan pihak lain,” ujar Rozik.
Dia menjamin pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut dapat beroperasi pada 2017 atau sejalan dengan batas akhir kewajiban pengolahan dan pemurnian yang diminta pemerintah.
Sebagai gambaran, Data Kementerian ESDM menyebutkan per 10 April renegosiasi dari 37 perusahaan berlisensi KK, baru 6 perusahaan yang sudah rampung.
Sementara sisanya belum sepakat dengan beberapa poin renegosiasi.
Sementara untuk PKP2B, dari 75 perusahaan berlisensi PKP2B, baru 22 perusahaan yang sudah merampungkan renegosiasi kontraknya.