Bisnis.com, JAKARTA – Memasuki pasar bebas dan Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015, seluruh perizinan importasi yang berhubungan dengan instansi pemerintah terkait diharapkan dapat dilakukan secara elektronik (on-line) yang terintegrasi dalam Indonesia National Single Window (INSW), namun sayangnya sampai saat ini masih banyak izin secara manual.
“Sudah pengurusan izinnya secara konvensional, setelah sampai di petugas analyzing point Bea Cukai masih dipersoalkan. Inilah yang membuat customs clearance memakan waktu lama,” kata Wakil Ketua Bidang Kepabeanan DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto, Sabtu (7/6/2014)
Padahal, katanya, tugas Bea Cukai cuma pelayanan serta pengawasan penerimaan negara melalui bea masuk dan bea keluar serta perpajakan. Bukan mempersoalkan izin dari instansi lain.
Widijanto menunjukkan salah satu bukti laporan perusahaan forwarder maupun PPJK kepada ALFI DKI, perihal importasi bahan baku industri yang harus berkali-kali menyerahkan dukumen impor dari government agent (GA).
Padahal, kata dia, yang di impor itu adalah bahan baku industri dan lagi pula, perusahaan importir tersebut telah mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE). "Jadi kalau yang seperti ini masih dipersoalkan kan ini namanya mengada-ada,” paparnya.
Dia juga memperlihatkan satu dokumen importir bahan baku makanan yang mengajukan pengurusan dokumen impor di Bea Cukai Priok pada 9 Mei 2014,namun surat persetujuan pengeluaran barangnya (SPPB) baru diterbitkan oleh Bea dan Cukai Priok pada tanggal 5 Juni 2014.
"Hampir sebulan barang itu di pelabuhan, berapa biaya demurage yang mesti ditanggung pemilik barang," tegasnya.
ALFI, kata dia, sangat prihatin dengan lambannya kinerja Bea dan Cukai saat ini. Akibatnya, proses produksi barang ekspor terganggu dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi serta memperlemah daya saing.
"Temuan-temuan itu menguatkan indikator lamanya proses customs clearance di Bea Cukai yang menjadi pemicu tingginya dwelling time di Pelabuhan Priok,"ujar Widijanto.