Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Kementerian Perdagangan untuk menaikkan harga referensi daging sapi menjadi Rp85.000/kg diyakini tidak akan memengaruhi daya beli konsumen terhadap komoditas tersebut.
Harga referensi yang dipatok saat ini adalah Rp76.000/kg dan dinilai masih menguntungkan peternak serta menghasilkan harga jual yang sesuai bagi konsumen. Namun, sebelum harga referensi dinaikkan harga daging sapi di pasar telah mencapai Rp101.509/kg per 21 Juli 2014.
“Sekarang saja ternyata konsumen tetap membeli walaupun mahal. Jadi, [harga referensi] Rp85.000/kg itu tujuannya lebih supaya peternak mendapat insentif dan mau melakukan investasi, tidak memengaruhi konsumen,” terang Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina, Selasa (22/7/2014).
Dia menjelaskan kenaikan harga referensi daging sapi tersebut telah sesuai dengan usulan menteri pertanian, yang memperhitungkan struktur harga produk peternakan tersebut setelah Idulfitri.
Saat ini, harga sapi hidup adalah Rp34.000/kg dengan karkas senilai Rp68.000/kg. Dengan ditambah ongkos produksi Rp17.000/kg, biaya transportasi Rp2.000/kg dan keuntungan pedagang besar Rp3.000-Rp3.500 per kg, maka harga jual daging sapi sekitar Rp83.000/kg.
“Nah, itulah yang membuat menteri perdagangan berpikir bahwa seharusnya harga referensi dinaikkan menjadi Rp85.000/kg, dan itu juga sejalan dengan usulan mentan Suswono,” lanjutnya.
Sekadar catatan, harga referensi adalah instrumen ambang batas yang menentukan kapan Kemendag boleh menyetop atau membuka keran impor. Apabila harga daging sapi masih berada di atas harga referensi tersebut, maka impor harus dikucurkan.
“Tapi kan sampai sekarang kita memang kekurangan, jadi yang kita terus mengimpor sampai sekarang,” tutur Srie. Dia menjelaskan toleransi untuk mengimpor adalah ambang batas harga yang berkisar kurang lebih 15% dari harga referensi.