Bisnis.com, JAKARTA—Penambahan Cikarang Dry Port (CDP) dan Pelabuhan Bitung sebagai pintu masuk baru untuk impor produk tertentu dinilai tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan kongesti di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ketua Umum Indonesian National Shipowner Association (INSA) Carmelita Hartoto menjelaskan sebenarnya masalah tingginya waktu tunggu (dwelling time) d Tanjung Priok tidak bisa sekadar dituntaskan dengan pembukaan port baru.
Masalahnya, kata Carmelita, dwelling time bukan hanya persoalan tingginya arus barang, tapi juga mencakup kecepatan pelayanan di pelabuhan, baik untuk urusan bongkar muat maupun dokumen.
“Inilah yang harus diatasi, sehingga kalaupun sebagian produk impor dialihkan pintu masuknya, saya pikir dampaknya tidak akan signifikan. Apalagi, jika yang dialihkan hanya produk-produk yang volumenya tidak signifikan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/8/2014).
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pembukaan kedua pintu masuk impor produk tertentu tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.36/2014 tentang perubahan kedua atas Permendag No.83/2012.
Pelabuhan Bitung ditetapkan sebagai pelabuhan tujuan impor produk makanan dan minuman, pakaian jadi, dan elektronika. CDP Bekasi ditetapkan sebagai pintu masuk untuk semua jenis komoditas produk tertentu.
Sekjen Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Achmad Ridwan Tento berpendapat pembukaan gerbang impor baru tersebut hanya akan efektif untuk importir atau perusahaan yang berdomisili di sekitar Bitung atau Cikarang.
Sehingga, kata Ridwan, kepadatan di Tanjung Priok kemungkinan tidak akan melonggar signifikan karena importir di DKI Jakarta dan sekitarnya tidak akan bergeser ke CDP maupun Bitung.
“[Pembukaan pintu masuk baru] Untuk produk-produk trtentu memang lebih memudahkan apabila importir atau pabriknya ada di daerah Cikarang atau di Bitung. Kalau untuk yang lain kan tetap [di Priok], enggak langsung ke sana.”
Senada dengan Carmelita, Ridwan mengatakan untuk mengurangi problema traffic di Priok, harus dipetakan terlebih dahulu titik kepadatan, apakah itu di terminalnya ataukah di pelabuhannya.
Dwelling time yang biasa terjadi di terminal peti kemas dipicu oleh lamanya kegiatan bongkar muat, karena para importir harus menyelesaikan berbagai persyaratan dokumen. “Seharusnya ada keterpaduan dengan instansi terkait, baru bisa menurunkan dwelling time.”
Apabila proses bongkar muat memakan waktu terlalu lama, terdapat sejumlah areal penyangga (buffer area) di sekitar untuk menunggu giliran. Menurut Ridwan, bila para importir yang biasa bertransaksi di Priok dipaksa pindah ke CDP atau Bitung, biaya yang harus mereka keluarkan akan membengkak. “Jadi tidak efisien.”