Bisnis.com, JAKARTA -- Tidak ada makan siang gratis. Mungkin ungkapan itu tepat untuk menggambarkan kesepakatan yang terjadi antara Indonesia dan Filipina untuk secara bersama-sama mengembangkan rumput laut dari hulu hingga hilir.
Akhir pekan lalu, kedua negara ini menandatangani kesepakatan untuk pengembangan di bidang budi daya, industri, dan pemasaran rumput laun. Bisnis berkesempatan untuk meliput seremoni tersebut yang diadakan di salah satu hotel berbintang kawasan Manila Bay.
Pihak pemerintah dan pelaku usaha kedua negara hadir. Indonesia diwakili oleh Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), sedangkan Department of Trade and Industry (DTI) dan Industry Association of the Philippines (SIAP) mewakili Filipina.
Kedua negara mengklaim merupakan produsen dan eksportir rumput laut terbesar dunia. Sebanyak jutaan ton rumput laut basah dihasilkan kedua negara ini setiap tahun dan dikirim ke beberapa negara dalam bentuk kering dan olahan.
Meskipun bersaing ketat, tetapi Filipina bisa dibilang lebih unggul karena terlebih dulu membudidayakan tanaman laut ini. Indonesia baru membudidayakan rumput laut jenis Euchema cottoni sebanyak 8 kg dari Filipina pada 1982.
Teknologi industri Filipina juga sudah digunakan di beberapa pabrik di Indonesia yang tersebar di Provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Beberapa provinsi tersebut merupakan daerah penghasil gulma laut.
Memang republik ini telah memulai percobaan budi daya sebelumnya di Pulau Tikus pada 1967 dengan jenis Eucheuma spinosum. Namun, jenis Euchema cottoni lebih banyak diminati pasar karena hasil olahannya lebih banyak digunakan sebagai bahan baku industri.
Kembali pada kesepakatan kedua negara. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, berpendapat Indonesia yang mempunyai keunggulan di bidang lahan budidaya, tenaga kerja, dan kuantitas produksi, bisa bersinergi dengan Filipina dengan kemajuan teknologi industrinya.
“Kerja sama ini layaknya hubungan sesama saudara sepupu,” tutur Bayu saat memberikan sambutan untuk meyakinkan sinergisitas kedua negara.
Pernyataan Bayu juga diamini oleh Undersecretary DTI Adrian Cristobal Jr. dengan senyuman. Dia juga melihat adanya potensi pasar global yang bisa diraih bersama. Sektor privat kedua negara bisa saling berkembang dalam beberapa tahun mendatang.
Mau tidak mau, memang kedua negara saling membutuhkan. Ketua SIAP Maximo Ricohermoso mengakui sedang butuh pasokan yang sangat banyak akibat hantaman topan dalam 3 tahun terakhir yang merusak sentra penghasil rumput laut.
Bahkan, lanjutnya, Haiyan telah merusak beberapa daerah penghasil seperti region 5 (Bicol), region 6 (Western Visayas), region 7 (Central Visayas), dan region 8 (Eastern Visayas). Nantinya, bahan baku dari Indonesia untuk mengisi kapasitas produksi industri.
“Akibat topan yang melanda negeri kami hingga empat kali, sistem budi daya menjadi rusak. Kami masih membutuhkan waktu untuk membangun kembali budi daya rumput laut,” katanya kepada Bisnis.
Akibat topan tersebut total produksi rumput laut Filipina tahun ini menurun hingga 60%. Hal tersebut menyebabkan kekosongan bahan baku pada industri olahan rumput laut.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengungkapkan produksi rumput laut kering sudah mencapai 900.000 ton pada pertengahan tahun ini. Padahal, target pemerintah tahun ini hanya 750.000 ton. Berarti, pasokan yang melimpah bisa menyebabkan penurunan harga jika tidak segera dilepas ke pasar.
“Kalau harga rendah, petani tidak akan bersemangat untuk memproduksi. Peluang pasar ke Filipina ini kami ambil untuk menjaga kontinyuitas,” ujarnya.
Azis menuturkan beberapa investor Filipina sudah ada yang menanamkan modalnya di Indonesia. Bahkan, perusahaan lokal banyak yang menggunakan konsultan atau tenaga teknis dari negara tersebut.
Peluang ini bisa diartikan sembari negara ini mengekspor bahan baku dan jadi, industri dalam negeri juga turut maju karena Filipina setuju untuk membagi pengetahuannya.
Sekilas memang kesepakatan ini seperti simbiosis mutualisme tetapi, layaknya rival tidak mungkin ada keuntungan murni.
Kedua pihak pasti saling mencari cara untuk bisa mengungguli satu sama lain, terlebih menjelang dibukanya kompetisi bernama Masyarakat Ekonomi Asean 2015.
Nah, kali ini strategi Indonesia nampaknya menggunakan filosofi Jawa yakni menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan). Filosofi tersebut kurang lebih mempunyai arti, mampu mendominasi atau menang tetapi tanpa merugikan pihak lain.
Sebelum itu tercapai, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Pertama, belum adanya kejelasan tata ruang rumput laut.
Rumput laut merupakan komoditas yang sangat sensitif terhadap polusi. Tentu saja pada wilayah sentra budidaya harus terbebas dari pembangunan infrastruktur maupun investasi industri.
Kedua, perlunya membangun pasar dalam dan luar negeri. Pihak ARLI dan pemerintah harus mulai memetakan kebutuhan rumput laut baik bahan mentah maupun olahan.
Bahan substitusi pesaing juga akan menjadi pertimbangan.
Saat ini, rumput laut yang digunakan sebagai bahan pengenyal bersaing ketat dengan tepung maizena dan tepung tapioka di pasar.
Pasar rumput laut dari hulu hingga hilir harus jelas terlebih dahulu. Jangan sampai setelah nilai tambah optimal, tetapi produk olahan tidak ada yang menyerap.
Ketiga, pemerintah perlu untuk memikirkan insentif bagi industri dalam negeri. Misalnya, importasi bahan kimia untuk mengolah rumput laut dipermudah, kejelasan sistem pembuangan limbah dan biaya, serta adanya kawasan industri yang dekat dengan produksi dan kemudahan akses logistik.
Bisa jadi bangsa ini akan membuat industri rumput laut negara pimpinan Benigno Aquino III ini tidak sadar akan tersalip dalam beberapa tahun ke depan.
Bayangkan, betapa kuatnya industri gulma laut ini di masa depan jika sektor industri sudah setara dengan Filipina, tetapi dengan kuantitas produksi yang lebih besar.