Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melalui kajian terbarunya mengungkapkan perkembangan positif dalam pembentukan ekosistem hilirisasi tembaga di Indonesia. Temuan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, dalam paparan hasil kajian di Jakarta hari ini.
"Indonesia memiliki posisi strategis dalam peta tembaga global dengan kepemilikan sekitar 3% dari cadangan tembaga dunia. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia dan produsen tembaga terbesar di Asia Tenggara," ungkap Esther.
Menurut kajian INDEF, momentum ini diperkuat dengan tren global menuju transisi hijau yang membuka peluang besar bagi Indonesia. Konsumsi tembaga global diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2035 dengan pertumbuhan rata-rata 14% sejak 2016, terutama didorong oleh perkembangan industri kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan.
"Hilirisasi tembaga memiliki nilai strategis yang signifikan. Peningkatan nilai tambah dari hulu ke hilir sangat substansial, mulai dari pengolahan bijih tembaga menjadi konsentrat yang meningkat 2 kali lipat, hingga produk akhir berupa kabel listrik yang bisa mencapai 71 kali lipat nilai tambah," jelas Esther.
Dari sisi ekonomi, pengembangan industri hilir tembaga memiliki potensi dampak yang besar, mulai dari nilai ekspor yang mencapai 282 juta USD, penciptaan lapangan kerja (253.583 lapangan kerja) dengan kontribusi terhadap GDP sebesar 34,9 juta USD.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, menekankan bahwa hilirisasi tembaga wajib memberikan manfaat kepada negara. Menurutnya hal itu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Kita ingin proses nilai tambah yang panjang itu sebanyak mungkin memberi dampak bagi negara, untuk meningkatkan pendapatan negara, membuka lapangan kerja, dan membangun kemandirian (energi)," katanya.
Selain itu INDEF mencatat bahwa pembentukan ekosistem menjadi aspek krusial dalam pengembangan hilirisasi industri tembaga.
"Tanpa adanya ekosistem yang terintegrasi, sulit untuk mendorong hilirisasi karena membutuhkan keterkaitan antar sektor yang kuat," kata Esther.
Kajian INDEF menunjukkan bahwa ekosistem hilirisasi tembaga di Indonesia mulai terbentuk dengan baik, terutama setelah implementasi UU Minerba. Hal ini terlihat dari terbentuknya rantai nilai yang melibatkan berbagai aktor utama, dari produsen hulu hingga pemain hilir, termasuk industri kabel listrik.
"Peran negara melalui kebijakan yang tepat terbukti krusial dalam membentuk ekosistem hilirisasi. Ini membuktikan pentingnya state-led development dalam transformasi industri. Kebijakan pemerintah telah berkembang dari penetapan dasar hukum hingga penguatan ekosistem industri yang terintegrasi, dengan fokus pada keberlanjutan dan inovasi teknologi,” kata Esther menjelaskan.
Seperti diketahui, salah satu Langkah strategis yang dilakukan pemerintah melalui PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah dengan membangun smelter baru di Gresik, Jawa Timur.
Smelter ini, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 September 2024, merupakan fasilitas pemurnian tembaga dengan desain single-line terbesar di dunia, mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun menjadi sekitar 600.000 ton katoda tembaga.
Investasi sebesar Rp58 triliun dalam pembangunan smelter ini tidak hanya meningkatkan kapasitas pengolahan tembaga nasional tetapi juga membuka peluang bagi tumbuhnya industrialisasi di Indonesia, khususnya di area Gresik, Jawa Timur. Beroperasinya smelter ini diperkirakan akan menyerap sekitar 2.000 tenaga kerja, terdiri dari 1.200 pekerja kontraktor dan 800 karyawan PTFI.